Rachel E. H | Staff Divisi Kajian Kanopi FEUI 2012 | Ilmu Ekonomi 2011
Setelah
beberapa hari bingung mencari ide untuk kajian post kedua, malam ini saya
memutuskan untuk mengangkat isu tentang ketahanan pangan. Namun sesampainya di kamar kosan, sebuah artikel di sebuah surat kabar menggelitik saya
untuk membacanya. Dan akhir dari segala usaha saya untuk membuat tulisan kali
ini berakhir pada satu masalah yang jarang kita perbincangkan: “perbuahan”.
Mungkin terdengar asing, namun saya rasa tidak ada salahnya bagi kita
mempelajari suatu hal yang baru, bukan?
Sebelumnya
saya mau bertanya kepada para pembaca sekalian: seberapa seringkah anda makan
buah? Banyak orang berkata bahwa makin sering kita bertemu dengan sesuatu,
makin besar pengetahuan kita tentang sesuatu itu. Pertanyaan tadi saya ajukan
guna mengajak kita untuk melihat (baca: menguji pernyataan sebelumnya) apakah
frekuensi anda memakan buah berkorelasi positif dengan kepedulian anda terhadap
fenomena ekonomi yang terjadi pada buah itu sendiri. Sebab berdasarkan
pengalaman saya sebagai konsumen buah dalam bentuk jus, kepedulian dan
kesadaran mengenai gejala ekonomi tentang buah jarang sekali terlintas dalam
benak orang-orang kebanyakan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini izinkanlah
saya untuk menilik keadaan perbuahan nasional: impor buah.
Apabila
kita menghitung jumlah pintu masuk impor untuk buah dan sayur yang dibuka oleh
pemerintah Indonesia, dapat dikatakan bahwa negara kita termasuk yang paling
bebas membuka pelabuhan impor. Menurut
Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati Kementrian
Pertanian, Arifin Tasrif, sampai saat ini Indonesia baru mampu mengekspor tujuh
macam buah. Itupun hanya tersebar di kawasan ASEAN, China, dan Timur Tengah.
Buah Indonesia belum bisa memasuki Australia dan Amerika Serikat karena ada
proteksi dalam kedua negara terhadap petaninya. Perlindungan bagi produsen juga
dilakukan oleh bangsa Eropa dengan menetapkan Belanda sebagai satu-satunya
pintu masuk bagi impor. Alih-alih China melakukan proteksi yang serupa dengan
Eropa (pembukaan satu pintu masuk bagi impor), negara kita membuka delapan
pintu masuk bagi impor. Sekali lagi saya katakan: Indonesia terlalu membuka
keran impor hortikultura.
Memangnya
kenapa kalau kita banyak impor buah? Bukankah sudah terbukti bahwa impor beras
lebih baik dibanding terus bertahan dengan beras nasional? Sayangnya beras dan
buah tidaklah sama, lagipula tidak semua impor itu baik. Ada tiga aspek yang
akan saya sorot sebagai dampak dari impor buah yang berlebihan (berlebihan
dalam konteks ini berarti permisif bukan excess
supply of import). Pertama, seperti yang telah saya singgung secara
implisit, impor buah dapat mengancam para petani buah nasional. Secara
kuantitas sebenarnya para petani Indonesia telah mampu mencukupi kebutuhan
nasional, tetapi kualitas buah yang mereka hasilkan belum sebaik kualitas buah
impor. Tidak bisa dipungkiri, dalam kasus ini teknologi yang menjadi hambatan. Selain
itu menurut Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan, konsep perkebunan skala
luas yang perlu dikembangkan guna meningkatkan produktivitas para petani
nasional adalah melalui pembangunan jaringan pertanian di hulu bukan dengan
sistem penyerobotan yang perusahaan besar terhadap petani-petani kecil. Kedua,
impor buah mampu melemahkan ketahanan pangan Indonesia. Makin besar impor yang kita
lakukan berarti makin besar ketergantungan kita akan produk impor. Berarti akan
makin besar juga power negara
pengimpor untuk mempengaruhi food
security di negara kita. Ketiga, keamanan pangan di negara ini
berkecenderungan terganggu oleh produk impor yang membuka peluang penyebaran
hama penyakit bagi tanaman. Kedepannya apabila hal ini terjadi, berarti masalah
bangsa ini akan bertambah lagi.
Kabar
baiknya mengenai ke-liberal-an Indonesia mengimpor buah ini, sudah ada strategi
teknis yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam melindungi petaninya. Mengutip
laporan Kompas, pemerintah provinsi Jawa Timur mengeluarkan peraturan gubernur yang
mengatur dan melarang peredaran buah dan sayur impor di pasar tradisional
(hanya buah dan sayur lokal saja yang boleh dijual). Contoh lainnya, apabila di
kabupaten Malang sedang panen mangga maka mangga impor dilarang beredar di
sana. Diharapkan akan ada inovasi lainnya terkait masalah ini untuk
meminimalisasi dampak buruk dari impor buah.
Berangkat
dari permasalahan di atas, sebaiknya kita melakukan penelitian dan kajian lebih
lagi agar kedepannya impor buah di Indonesia bisa lebih terkontrol. Menyambung
dari pembukaan tulisan ini, saya ingin mengajak para pembaca semua untuk mau
lebih peduli lagi melihat fenomena ekonomi yang terjadi di sektor-sektor unik
seperti perbuahan ini. Sebab bagaimanapun banyaknya masalah besar dalam perekonomian
bangsa kita, masalah perbuahan nasional juga termasuk kedalamnya dan dapat memberi
dampak dalam perekonomian Indonesia. Semoga tulisan ini boleh menjadi awal
untuk mencetak langkah terkait kepedulian kita terhadap perbuahan nasional.
No comments:
Post a Comment