Oleh: Dwinia Emil | Trainee Divisi Kajian Kanopi 2012 | Ilmu Ekonomi 2012
Keuangan
mikro mengacu pada penyediaan keuangan bagi rumah tangga yang berpendapatan
rendah, serta tidak memiliki akses ke lembaga atau bank komersial. Oleh karena
itu, aplikasi berupa skema dibukanya akses masyarakat berpendapatan minim
tersebut terhadap kredit pembiayaan pun di jalankan (micro financial/ microcredit). Upaya tersebut dilakukan oleh seorang
profesor ekonomi di Bangladesh, Muhammad Yunus lebih dari satu dekade lalu.
Melalui Grameen Project, Yunus mengupayakan bantuan pinjaman langsung, sebuah
langkah intermediasi keuangan, yang ditujukan kepada masyarakat target microcredit tersebut. Hasilnya luar
biasa. Menggunakan pendekatan the
geometric mean di ilmu statistika yang telah saya pelajari, dapat dihitung
persentase perubahan rata-rata dari affected
targets dalam Grameen Project:
Year
|
Affected Target Clients
|
1997
|
7.6 million
|
2004
|
92
million
|
Maka
menggunakan perhitungan= -1 = 0.428 x 100% = 42.8%, terlihat bahwa upaya
“bantuan” tersebut telah tersebar luas dalam kurun waktu yang relatif singkat,
yakni tujuh tahun dengan kenaikan klien sebesar 42.8%. Artinya, bentuk
intermediasi keuangan semacam Grameen Project dapat dengan mudahnya diterima
oleh masyarakat di Bangladesh. Skema microcredit
terbukti berhasil menyusup dan beroperasi di negara berkembang tersebut dan berkontribusi
dalam menghasilkan pertumbuhan makro yang positif dan yang menarik, terkontrol.1
Memaknai “bantuan” Muhammad Yunus,
bukan hanya sekedar membagikan setumpuk uang pinjaman dari saku pribadinya
kepada segelintir pekerja di kota Jobra.2 Namun sejatinya merupakan
upaya empowerment, sebuah upaya
pembekalan masyarakat yang tertinggal berupa kemampuan tertentu yang di
harapkan mampu meningkatkan derajat hidup dan kapasitas mereka sebagai
partisipan pasar. Umumnya, ditujukan terhadap mereka yang selama ini hanya menjadi
“penonton pasar”. Selayaknya Yunus berharap klien Grameen Project sukses
menjadi objek dari upaya-upaya intermediasi keuangan dan intermediasi sosial,
sebagaimana dijelaskan oleh Joanna Ledgerwood mengenai keuangan mikro sebagai “layanan
intermediasi sosial seperti pembentukan kelompok, pembangunan kepercayaan diri,
serta pelatihan melek keuangan dan kemampuan manajemen di antara
anggota-anggota kelompok” (Ledgerwood, 1999). Demikian keuangan mikro dan skill-adding aspects-nya memberikan
sumbangsih terpenting bagi empowerment
masyarakat berpenghasilan rendah.
Siapa
saja target klien keuangan mikro? Yang menjadi nasabah/anggota/klien umumnya
segmen masyarakat berpenghasilan minim seperti pedagang kaki lima, petani
kecil, pengrajin, hingga penyedia jasa (transportasi becak atau penjahit).
Nasabah lainnya mencakup segmen usaha kecil menengah yang membutuhkan dana
usaha dalam upaya awal memasuki ekonomi pasar. Merekalah para aktor pendatang
yang “miskin”. Sri-Edi Swasono, dalam artikel Kompas (28/07/12) yang berjudul “Kemiskinan
dan Pengangguran” mempertanyakan siapa yang sebetulnya tergolong miskin? Ketika
Indonesia menetapkan seseorang berada di bawah garis kemiskinan bila pendapatan
per kapita di bawah Rp 243.729/bulan, lantas apabila seseorang berpendapatan
250.000/bulan maka ia dikategorikan “tidak miskin”. Untuk tidak dikategorikan
sebagai golongan miskin, ada dampak negatif yang dirasakan segmen masyarakat
berpenghasilan rendah tersebut. Mereka umumnya memiliki sumber pendapatan
tetap, namun “kalah miskin” untuk diperhatikan oleh pemangku kekuasaan. Terkait
dengan hal tersebut, microfinancial
hadir dan memberdayakan kelas tersebut seperti yang telah dilakukan banyak bank-bank
nasional saat ini.
Nantinya
saat memasuki ekonomi pasar, ada dua dimensi bertentangan yang berlaku:
self-interest dan pasar bebas. Paham neo-liberalisme banyak menjelaskan
mengenai keduanya. Dalam dimensi self-interest, neo-liberal berargumen “that it is through the operations of the
market that the freely acting individual will be best able to pursue their
self-interest” dan “the expression of
individual self-interest through the market leads to the most desirable
outcomes in which social well-being is necessarily advanced by the pursuit of
an individual’s self interest” (Friedman, 1982). Berbekal microcredit empowerment, segmen kelas
“kalah miskin” turut bergairah, atau mau tak mau ikut dalam pergerakan pasar
bebas. Di lain sisi, kita memahami pergolakan pasar yang mampu memiskinkan
seketika.
Celakanya,
memang pasar bebas saat ini mendominasi praktik pembangunan. Dalam bukunya
“Tenggelam dalam Neoliberalisme”, Bagus Aryo membenarkan telah terjadinya
pergeseran yang signifikan dalam praktik pembangunan, dari pendekatan yang
diarahkan oleh negara kepada pendekatan yang diarahkan oleh pasar (Aryo, 2005).
Kutipan pernyataan Friedman betul-betul menggambarkan semangat pasar bebas yang
membangkitkan excitement; namun para
aktor pendatang tidak boleh lengah. Persaingan pasar bebas adalah
ketidakpastian; sebaiknya mereka berhati-hati dan waspada. Akan berpegang pada
siapakah mereka—pengrajin, penjahit, penjaja kaki lima—jikalau sepenuhnya pasar
terdiferensiasi menjadi pasar persaingan bebas?
Jika
memang betul tren yang terjadi mengarah ke neoliberalisme—sebuah sistem ekonomi
dimana hampir semua alokasi sumber daya yang terbatas ditentukan oleh interaksi
antara penawaran dan permintaan di pasar bebas, sebagian besarnya tidak dihambat
oleh campur tangan pemerintah—maka upaya microfinancial
perlu terus dikembangkan dan dipertahankan. Hal ini dikarenakan sejalan dengan
pergeseran kekuatan ekonomi dari negara ke pasar, harus ada “displacement from formal to informal
techniques of government and the appearance of new actors on the scene of
governments” (Lemke, 2000). Hal inilah yang akan menjadi tantangan utama di
masa mendatang.
No comments:
Post a Comment