Oleh:
Jaysa Rafi Prana | Trainee Divisi Kajian Kanopi 2012 | Ilmu Ekonomi 2012
Membaca surat kabar beberapa hari dan bulan kebelakangan ini menumbuhkan rasa bangga saya akan Indonesia.
Bagaimana tidak,
disamping berbagai krisis parah yang menimpa dunia pada saat ini mulai dari krisis Eropa, Amerika Serikat, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi di Cina dan India, Indonesia
tetap menunjukan tajinya dengan keadaan ekonomi makro yang ciamik dan dapat dikatakan tidak goyah menghadapi krisis - krisis yang ada pada saat ini. Indonesia, tahun
2012, diharapkan akan mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen dan tingkat inflasi yang rendah,
yaitu sekitar
4,5 persen ditambah kurang satu persen. Selain itu, cadangan devisa yang dimiliki
Indonesia pada saat ini juga bias di bilang baik. Berdasarkan kuliah umum yang diberikan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan, Prof. Bambang Brodjonegoro, Ph.D,
Indonesia memiliki cadangan devisa sekitar 113 miliar dolar AS yang dapat membiayai bangsa Indonesia untuk melakukan impor dan membayar kewajiban pokok selama 7 bulan kedepan. Cukupnya cadangan devisa yang di miliki oleh bangsa Indonesia
sekarang ini telah berakibat baik pada stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dolar yang akhir – akhir ini berkisar antara Rp.9.500,00 - Rp.9.600,00 per dollar
AS. Akan tetapi, ada satu hal yang juga menjadi sorotan akhir – akhir ini dan dapat berakibat buruk pada perekonomian Indonesia
kedepannya apabila tidak ditanggulangi dengan baik dan cepat dalam beberapa waktu kedepan, hal tersebut adalah trade
deficit, yaitu keadaan dimana nilai ekspor Indonesia lebih kecil daripada nilai impor yang akhirnya berakibat pada terpakainya cadangan devisa untuk menutupi trade
deficit.
EXPORTS – IMPORTS
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Meskipun untuk pertama kalinya dalam empat bulan terakhir Indonesia
mencatatkan catatan
surplus pada neraca perdagangan, bias dilihat dari data dibawah neraca perdagangan pada sector minyak dan gas masih mengalami defisit, nilai selisih antara ekspor dan impor minyak masih mengalami deficit sebesar 0,46 miliar dollar AS per
agustus 2012 dan secara komulatif sejak awal tahun 2012 s.d.Agustus
2012 mengalami deficit sebesar 1,57 miliar
dollar AS.
Surplus
neraca perdagangan
yang diraih pada bulan agustus merupakan kabar yang sangat menggembirakan mengingat sejak bulan april hingga juli Indonesia
mengalami trade deficit sebesar kurang lebih 1,5 miliar dollar
AS seperti yang dilansir oleh The
Jakarta Globe edisi 3 September 2012.
Salah satu faktor
yang menyebabkan deficit neraca perdagangan adalah impor BBM yang besar mengingat meningkatnya konsumsi domestic karena murahnya harga BBM sebagai akibat subsidi yang diberikan pemerintah.
Berdasarkan data yang saya peroleh dari harian Kompas pada tanggal 4 Oktober 2012,
pemerintah sekarang terbebani oleh beban subsidi BBM sekitar 230 triliun,
yang mengambil sebesar
24% dari APBN Negara tahun
2012. Konsumsi BBM juga diprediksi akan terus naik ketingkat 46 juta kilo liter dan akan membebani negara lebih lagi. Kondisi ini akan memperburuk keadaan neraca perdagangan Indonesia
dimana dana
yang seharusnya bias dialokasikan untuk hal lain yang lebih penting seperti infrastruktur,
pendidikan, dan kesehatan tersedot hanya pada subsidi BBM.
Saya secara pribadi tidak mengerti mengapa pemerintah tidak berani menaikkan harga BBM. Dengan menaikkan harga BBM, beban pemerintah dapat berkurang secara sangat signifikan. Mari kita berandai - andai, jika saja pemerintah berani menaikkan harga BBM ke level
Rp.6.000,00 satu liternya untuk premium dan
solar, pemerintah dapat menghemat beban subsidi BBM sebesar 69 triliun rupiah
dengan asumsi konsumsi BBM sebesar 46
juta kilo liter.
Bayangkan pembangunan
yang dapat dihasilkan dengan alokasi dana sebesar 69 triliun,
pastinya sangat baik bukan? Terlebih lagi, seperti yang
dilansir di harian Kompas pada tanggal 4 oktober 2012,
Ketua Kadin,
Suryo Bambang Sulisto, mengungkapkan kesetujuannya akan kenaikkan harga BBM yang dinilai sudah sangat membebani pemerintah dan dananya dapat dialokasikan pada sector – sector penting lainnya seperti infrastruktur yang akan mendukung produksi dalam negeri dan meningkatkan ekspor. Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa pemerintah harus menaikkan harga BBM dalam rangka memperbaiki neraca perdagangan Indonesia
dan mengalokasikan dananya pada sector lain yang dapat meningkatkan kegiatan produksi ekspor.
bagaimana dengan inflasi yang terjadi jika dilakukannya kenaikan bbm ? saya rasa kebijakan yang tepat adalah dengan menaikkan harga secara bertahap misal Rp 300,- per triwulan sehingga dampak kejutan ekonomi tidak terlalu besar
ReplyDelete