Oleh: Rachel E. Hosanna | Staff Divisi Kajian Kanopi 2012 | Ilmu Ekonomi 2011
Tak ada yang tak
bisa dilakukan oleh perbankan nasional-selama hal tersebut sejalan dengan
tujuan dan konstitusi negara. Ada banyak hak istimewa yang dibuat dan
disediakan oleh pemerintah bagi perbankan nasional agar pertumbuhan perbankan
di Indonesia terus melesat cepat. Tak ada asa yang dilakukan tanpa makna. Tentu
segala kebijakan dan perangkatnya mengenai sistem perbankan yang di atur di
negara ini memiliki satu tujuan yang jelas untuk kedepannya. Akan tetapi,
sudahkah kita menyadari hal-hal apa yang sudah menjadi prestasi perbankan
nasional saat ini? Apa pula kekurangan mereka yang paling krusial bagi
perekonomian bangsa? Alih-alih membicarakan banyak hal yang normative,
subjektif, random dan absurd, marilah kita berteduh sejenak
sembari menilik dengan teliti mengenai efisiensi perbankan: suatu polemik yang
(ternyata) berakar sistemik.
Secara gamblang,
bank-bank nasional RI dewasa ini dinilai tidak efisien. Mengapa? Menurut
Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, tingginya suku bunga pinjaman (credit rate) sedikit banyaknya
mencerminkan bahwa daya perbankan untuk menekan tingkat bunga kredit masih
kecil. Bank belum efisien menggunakan sumber yang ada. Mentri Koordinator
Perekonomian RI, Hatta Radjasa, menambahkan bahwa perbankan dinilai menikmati
keuntungan yang terlalu besar dari spread yang tinggi antara sbdk dengan BI
rate. Sebelum berjalan jauh mengenai isu inefisiensi ini, mari kita cermati
kondisi bank-bank nasional yang ada. Berikut ini adalah data mengenai 10 national banks dengan suku bunga
dasar kredit (sbdk) tertinggi.
Tabel 1 Data SBDK 10 Bank
pada posisi akhir Juni 2012
(BI rate sebesar 5. 75%)
Nama Bank
|
Suku Bunga Dasar Kredit (%)
|
|||
Kredit
|
Kredit
|
Kredit Konsumsi
|
||
Korporasi
|
Ritel
|
KPR
|
Non KPR
|
|
BANK
TABUNGAN PENSIUNAN NASIONAL
|
17.25
|
17.73
|
|
18.19
|
PT.BPD
SULAWESI SELATAN DAN BARAT
|
12.70
|
14.58
|
11.66
|
16.46
|
BANK
MEGA
|
11.25
|
17.25
|
12.50
|
12.50
|
BPD ACEH
|
11.84
|
11.84
|
12.34
|
12.34
|
BANK
DANAMON INDONESIA
|
10.80
|
12.80
|
12.00
|
12.49
|
BANK
BUKOPIN
|
10.31
|
12.75
|
12.00
|
12.25
|
BANK
SUMSEL BABEL
|
11.11
|
12.18
|
11.35
|
11.40
|
RABOBANK
|
10.75
|
11.50
|
11.50
|
12.25
|
PT
BANK VICTORIA INTERNATIONAL
|
11.87
|
11.87
|
10.24
|
11.87
|
BANK
MUTIARA
|
11.00
|
11.75
|
11.00
|
12.00
|
*)Sumber:
Publikasi Bank Indonesia
Sekilas tingginya
spread antara sbdk dengan BI rate memang
menjadi salah satu alasan rendahnya efisiensi perbankan. Akan tetapi bila ditelaah
dengan lebih rinci ternyata spread bukanlah sumber utama inefisiensi perbankan,
ada hal lain yang memegang peranan secara lebih langsung.
Tingkat kredit
yang tinggi ini disinyalir oleh beberapa pihak termasuk BI sebagai efek dari
tingginya suku bunga deposito (deposit
rate). Akhir-akhir ini perbankan nasional tengah menghadapi trade off antara menghimpun dana dari
masyarakat secara ‘kecil-kecilan’ atau menghimpun dana dari big player.
Kita mengetahui
bahwa menghimpun dana dari big player
lebih hemat waktu dan risiko dibanding menghimpun dana dari masyarakat biasa.
Namun yang menjadi cost-nya adalah
adanya bargaining power yang besar
yang dimiliki oleh big player untuk
menentukan deposit rate bank yang
menghimpun dana mereka. Kewenangan inilah yang hingga saat ini menjadi problema
mendasar perbankan karena mau tidak mau tingkat bunga kredit yang mereka
tawarkan pun harus dinaikkan untuk mendapatkan net interest margin yang besar pula.
Tabel
2 Suku Bunga Deposito Acuan BI
pada
posisi akhir Juni 2012
|
|||
Jenis Bank
|
Termin Deposito (%)
|
||
1 bulan
|
3 bulan
|
6 bulan
|
|
Bank Persero
|
6.36
|
6.8
|
6.62
|
Bank Pembangunan Daerah
|
7.42
|
7.88
|
8.39
|
Bank Swasta Nasional
|
6.77
|
7.08
|
7.47
|
Bank Asing dan Campuran
|
5.19
|
6
|
6.63
|
Bank Umum
|
6.56
|
6.99
|
7.37
|
*)Sumber: Publikasi Bank Indonesia
Dalam konteks
penguatan persiapan daya saing menuju Asean
Economic Community (AEC) pada tahun 2015 mendatang, pemerintah hingga saat
ini masih mencari dan mencoba berbagai cara untuk meningkatkan efisiensi
perbankan. Perlu diketahui, tingkat kredit bank-bank di Indonesia merupakan credit rate tertinggi di Asean. Terkait
dengan hal tersebut, menurut Darmin Nasution bila dibandingkan dengan Malaysia
dan Thailand maka deposit rate
perbankan nasional jauh lebih tinggi. Sebenarnya kondisi perekonomian negara
kita mirip dengan Filipina, namun suku bunga negara tetangga itu tidak setinggi
suku bunga Indonesia.
Mengandalkan
pengetahuan yang masih ‘cetek’ ditambah niat tulus untuk membantu pemerintah
mengatasi masalah ini, saya sudah memiliki beberapa solusi alternatif guna
meningkatkan efisiensi perbankan kita. Pertama, sebaiknya perbankan menciptakan
lebih banyak instrumen investasi (diferensiasi) sehingga pasar keuangan menjadi
lebih kompetitif. Kedua, bank sentral Indonesia (BI) sebaiknya mendorong
pengembangan instrumen jangka panjang dengan tingkat pengembalian yang lebih
tinggi agar lebih menginsentif masyarakat untuk membelinya. Sebaiknya upaya BI
untuk meningkatkan tata kelola yang baik melalui aturan kepemilikan saham
(restrukturisasi perbankan) dan konsolidasi/merger bank tidak akan mendorong
efisiensi perbankan. Tujuan restrukturisasi perbankan pada awalnya adalah untuk
menekan cost of fund, menurunkan suku bunga kredit, dan penerapan single presence policy. Akan tetapi
hingga kini proses restrukturisasi belum berjalan optimal sehingga hasil yang
diharapkan belum terlihat. Sedangkan aturan merger bank yang berlaku hanya
untuk beberapa bank diyakini hanya akan menciptakan status quo. Cara keempat
cenderung normatif karena saya belum mampu menyertakan datanya, yaitu
semestinya bank mampu lebih longgar lagi memberi kredit ke dunia usaha sehingga
berapapun suku bunga kredit dinaikkan akan tetap diincar sektor korporat dan
ritel (law of scarcity).
Ya, intinya
sebagai warga negara sekaligus calon ekonom yang baik saya berharap (sambil
terus berusaha-dalam daya dan lingkup terbatas) ke depannya perbankan nasional
bisa mencapai efficient point yang
diharapkan. Demi perekonomian Indonesia yang lebih baik!
No comments:
Post a Comment