15.2.10

Output Kajian dari Dialog Ekonomi "Diskusi Kasus Century dalam Perspektif Akademik"

(Output dari Dialog Ekonomi “Diskusi Kasus Century dalam Perspektif Akademik” yang diselenggarakan Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (Kanopi) FEUI pada hari Selasa, 9 Februari 2010)
Sejak kemunculan berita mengenai kasus pemberian bailout Bank Century di tahun 2009 lalu, kasus Century semakin ramai dibicarakan oleh masyarakat dan tidak terkecuali para elit politik negeri ini. Kesimpangsiuran aliran dana bailout Century telah cukup banyak menyeret sederetan nama tokoh nasional dan partai politik karena diduga memiliki keterkaitan dengannya. Tidak hanya itu, pengambilan keputusan pemberian bailout oleh otoritas moneter dan keuangan saat itu diperdebatkan dengan sangat sengit terutama setelah terbentuknya Panitia Khusus (PANSUS) melalui hak angket DPR dan berjalannya pemeriksaan sejumlah pejabat negara oleh tim khusus tersebut. Berbagai pertanyaan yang ada di benak masyarakat saat ini adalah bagaimana dan apa alasan pemerintah mem-bailout Century? Pertimbangan apa saja yang telah dilakukan oleh otoritas moneter dan pihak terkait lainnya saat menetapkan Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik? Bagaimanakah status hukum dari aliran dana bailout itu sendiri? Ini hanya segelintir dari sekian banyak pertanyaan lainnya yang menunggu untuk terjawab demi menyingkapkan kebenaran dari kasus ini.
Bank Century merupakan produk merger dari 3 buah bank swasta yakni CIC, PIKKO, dan Danpac yang dimerger pada Desember 2004 lalu karena ketiga bank tersebut dimiliki oleh pemegang saham yang sama yaitu Chinkara Capital Ltd sehingga diharapkan dengan adanya merger pengawasan bank dapat dilakukan dengan lebih baik dan efektif. Namun ternyata setelah merger dilakukan, kondisi bank hasil merger tersebut tidak membaik malah semakin memburuk terutama setelah terjadi krisis global di penghujung tahun 2008. Awalnya BC (Bank Century) dikategorikan sebagai bank dalam pengawasan intensif (2005-Oktober 2008) dikarenakan adanya permasalahan SSB valas yang non investment rating dan NPL Net di atas 5%. Kemudian status tersebut diubah menjadi bank dalam pengawasan khusus (Oktober-November 2008) disebabkan CAR-nya yang hanya 2,35% di bawah yang seharusnya 8% (per 30 Sept 2008), pelanggaran GWM, dan likuiditas yang terus memburuk. Dengan mempertimbangkan kondisi krisis global saat itu, maka diputuskanlah untuk memberikan FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek) oleh BI sebesar Rp502 Miliar (14/11/2008) dan Rp187 Miliar (18/11/ 2008). Pertimbangan mendasar saat itu adalah kondisi perekonomian nasional yang dinilai telah menunjukan adanya gejala krisis global yang terlihat dari beberapa indikasi seperti merosotnya indeks kepercayaan konsumen, indeks sentimen bisnis yang turun tajam baik kondisi saat itu maupun ekspektasi ke depannya (November 2008), krisis likuiditas pada perbankan nasional (terlihat dari macetnya PUAB), inflasi yang relatif tinggi sekitar 12,56%, terjadinya suspensi pada perdagangan saham di BEI pada 8-10 Oktober 2008, nilai tukar Rupiah yang sempat menembus angka Rp12.000/US$, dan IHSG yang terjun bebas dan mencapai titik terendahnya pada level 1.111,4 (28 Okt 2008). Hal-hal tersebut mengindikasikan bahwa saat itu perekonomian nasional telah menunjukan gejala awal krisis sehingga perlu ada respon kebijakan baik dari pemerintah maupun otoritas moneter untuk mencegah perkonomian semakin terhisap dalam kumparan krisis global kala itu.
Pertimbangan ini pula yang dijadikan alasan otoritas moneter saat itu untuk mengusulkan penetapan Century sebagai bank gagal yang ditenggarai berdampak sistemik yang kemudian disetujui oleh KSSK untuk diselamatkan melalui penanganan LPS (20-21 Nov 2008) terutama pasca pemberian FPJP Century tidak menunjukan kondisi yang membaik dan tekanan likuiditas (baik karena adanya penarikan Dana Pihak Ketiga maupun terjadinya segmentasi PUAB) yang semakin berat tidak hanya pada BC tapi juga pada bank-bank lainnya (terutama 18 peer bank yang berpotensi mengalami masalah yang sama dalam hal likuiditas). BI sendiri mengusulkan status BC sebagai bank gagal yang ditenggarai sistemik didasarkan pada beberapa aspek yaitu Institusi Keuangan, Pasar Keuangan, Sistem Pembayaran, Sektor Riil, dan Psikologi Pasar yang saat itu berkesimpulan bahwa penutupan BC akan menimbulkan sentimen negatif bagi sistem dan pasar keuangan, memicu terjadinya rush pada bank lainnya, potensi terjadinya capital flight keluar negeri, meningkatkan ketidakpastian pada pasar domestik, serta menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada sistem perbankan nasional yang berujung pada ketidakstabilan sistem perbankan nasional secara keseluruhan.
Langkah penyelamatan tersebut memiliki landasan hukum yang cukup jelas yakni Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) serta UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). BI sendiri sebenarnya telah memperhitungkan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk langkah penyelamatan ini yaitu sebesar Rp 6,56 triliun mencakup kebutuhan modal sebesar Rp 1,77 triliun dan tambahan likuiditas sebesar Rp4,79 triliun. Lalu apa status hukum dana penyelamatan tersebut? Berdasarkan UU no. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dana penyelamatan yang digunakan adalah dana LPS yang bukan merupakan bagian dari keuangan negara dan bukan uang negara sehingga penyimpangan atas penyalurannya harus tunduk pada hukum yang berlaku sesuai ketentuan pidana UU Perbankan, BI, dan LPS. Dalam perspektif hukum, kasus dana talangan BC dapat diuji legitimasi kebijakannya dengan menekankan pada 3 hal, yaitu (a) kepentingan umum yang dilindungi, (b) manfaat yang diperoleh publik, (c) motivasi pengambilan kebijakan. Hal-hal inilah yang seharusnya dijadikan patokan untuk mengukur ada atau tidaknya pelanggaran yang disebabkan adanya perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh oknum yang berkaitan. Lebih lanjut, pemerintah dan pihak yang berwenang menangani kasus ini sebaiknya melakukan pengauditan terhadap pelaksanaan kebijakan bailout BC secara komprehensif dan transparan serta melakukan penelusuran forensik atas fakta-fakta yang ada. Pada akhirnya, masyarakat luas memerlukan kejelasan atas kebenaran kasus ini mengingat dampaknya yang sangat signifikan terhadap stabilitas perekonomian, keamanan maupun politik nasional. Jangan sampai dampak sistemik BC terus berlanjut karena penyelesaiannya yang berlarut-larut dan nantinya dapat berakibat fatal bagi perekonomian bangsa.
(disusun oleh Agustina, Wakil Kepala Divisi Kajian Kanopi FEUI)

Output ini juga dimuat di Kompasiana.

1 comment: