1.8.12

[Kajian Post] Dia Bukan Anak Bawang

Oleh: Rachmat Reksa Samudra | Staf Divisi Kajian Kanopi 2012 | Ilmu Ekonomi 2011

Saya kadang heran. Saya heran masyarakat kadang membentuk opini yang negatif terhadap salah satu kegiatan ekonomi yang menurut saya itu adalah normal. Kegiatan yang memang dibutuhkan oleh suatu Negara untuk melengkapi dan memenuhi kebutuhannya. Kegiatan itu adalah kegiatan impor.

Banyak berita yang kita lihat dan dengar di media cetak mau pun media elektronik, orang - orang berdemonstrasi menolak kebijakan pemerintah mengenai impor barang - barang. Entah barang apa pun itu, mulai dari barang yang dianggap masyarakat Indonesia bisa swasembada atas barang tersebut, atau pun barang - baranglainnya. Mereka menolak mentah - mentah kebijakan pemerintah tersebut dan menganggap pemerintah adalah antekasing, tidak pro-rakyat, pro-kapitalis, pro-neolib (eralisme), dan sebagainya. Padahal, kegiatan impor adalah kegiatan yang sangat wajar dalam perekonomian untuk membantu Negara mencapai welfare state dan mendorong economic growth secara tidak langsung.


*

Di masa orde baru, sebelum krisis ekonomi 1998, Indonesia bisa dibilang melakukan kegiatan Trade Protectionism, di mana Indonesia menerapkan kebijakan Tariff terhadap barang - barang impor dalam kegiatan perdagangan internasional. Alhasil, barang - barang impor menjadi sangat mahal dan volume barang dari luar negeri masuk memang sedikit (karena mahalnya Tariff).

Memang, kelihatannya kebijakan Trade Protectionism (dalam bentuk Tariff) ini sangat melindungi produsen dalam negeri, apalagi dengan paket ekonomi saat itu yang sangat mendukung kegiatan ekspor. Padahal, menurut Rodrik (2002), tidak ada bukti bahwa Trade Protectionism itu berhubungan secara sistemik terhadap pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Apalagi, menurut Basri, Maddaremeng, dan Soesastro (2004), Trade Protectionism hanya membawa keuntungan kaum - kaum yang bermodal banyak, atau bisa kita sebut dengan kapitalis, dari pada keuntungan yang diperoleh oleh petani, nelayan, buruh, dan sebagainya. 

Ya, kebijakan  Trade Protectionism hanya menguntungkan kaum kapitalis.

Banyak efek negatif dari kita tidak mengimpor barang. Para pemilik modal dapat semena-mena mengatur arus barang yang beredar di suatu Negara tanpa ada external control, dimana external control itu bisa di dapat ketika ada barang impor yang masuk sebagai salah satu alat benchmark yang dapat digunakan untuk membandingkan barang produksi dalam negeri dan luar negeri.

Produsen dalam negeri juga akan mengalami inefisiensi dalam proses produksinya, sebagai efek dari ‘semena-mena’ dan tidak adanya external control tersebut. Selain itu, produsen dalam negeri kurang mempunyai daya kompetitif yang layak dalam pasar karena mereka tidak terdorong untuk menginovasi barang - barangnya. Pada akhirnya, konsumen yang dirugikan. Lagi, kebijakan Trade Protectionism hanya menguntungkan segelintir pihak saja.
*

Lalu, setelah kita melihat fakta yang ada di ordebaru, apakah masih layakkah kita berdemonstrasi mengutuk kegiatan impor barang - barang?

Sesuatu yang hanya dilihat dari satu sisi saja memang tidak baik. Seharusnya kita tahu terlebih dahulu mengapa pemerintah melakukan impor terhadap barang - barang. Bisa banyak alasannya. Bisa saja, karena jenis barang tertentu diimpor untuk menstabilkan harga - harga di pasaran. Bisa saja, jenis barang tersebut diimpor karena dianggap produksi dalam negeri kurang berkualitas, sehingga dengan adanya barang impor, produsen dalam negeri dapat terdorong untuk membuat produk yang berkualitas.

Maka dari itu, kegiatan impor dalam perdagangan internasional bukanlah suatu hal yang tabu, hal yang dapat membuat kita miskin dan jalan di tempat. Sebaliknya, impor dapat ‘mengkayakan’ kita dan dapat membuat perekonomian, khususnya di bidang industri, untuk menjadi lebih baik lagi dalam segi kualitas dan dapat menekan produksi agar selalu efisien dalam prosesnya.

Impor, dia bukan anak bawang.
***

1 comment:

  1. Emang kan kalo impor itu bukan sesuatu yang salah, yang jadi masalah adalah apakah proporsi impor dalam negeri kita berlebihan atau tidak :D

    ReplyDelete