13.8.12

[Kajian Post] Transformasi Ramadhan: Anda yang (Harus) Memikirkan!

Oleh: Rachel Hosanna | Staff Divisi Kajian Kanopi 2012 | Ilmu Ekonomi 2011


Tidak terasa bulan puasa akan berlalu sebentar lagi. Banyak orang muslim yang sudah mempersiapkan pernak-pernik untuk menyambut hari raya Lebaran, di samping menyiapkan hati dan pikiran tentunya. Gamis dan peci baru, kue-kue, parsel, bahkan ada yang mendekor sampai merenovasi tempat tinggal mereka agar suasana Idul Fitri benar-benar tercipta. Arus mudik dari utara ke selatan maupun sebaliknya, sudah menjadi tradisi bangsa ini. Ada satu hal lagi yang turut serta menjadi ikon Ramadhan di Indonesia, yaitu pengemis musiman.


Banyak orang yang berspekulasi bahwa mereka yang datang dari kampung untuk menjadi pengemis di Jakarta ini adalah orang-orang yang mencari kesempatan di tengah kesempitan. Orang-orang yang dengan sengaja memanfaatkan niat baik orang di bulan yang baik. Sayangnya, argumen tersebut tak terbantahkan. Beberapa waktu yang lalu saya menyimak wawancara antara reporter sebuah stasiun televisi swasta dengan para pengemis yang ‘bertaburan’ di pinggir jalan ibukota. Agak mengejutkan ketika saya mendengar hampir semua jawaban yang ada: “iya, mas memang sengaja soalnya untungnya gede banget.” Apa? Mereka tidak menyangkal itu semua? Mereka memang sengaja? Mereka menyebut itu sebagai ‘untung’?

Lalu saya tergelitik untuk mengetahui seberapa besar memangnya untung mereka sehingga mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, dan harga diri mereka tentunya. Saya mendapatkan angka yang mengejutkan: 50.000! bukan per hari, tetapi per 2 jam. Kalau mereka bekerja seharian penuh berarti penghasilan mereka per orang per hari adalah 600.000. Jadi dalam satu bulan penuh (asumsikan 1 bulan = 30 hari) mereka bisa meraup ‘keuntungan‘ sampai 18 juta rupiah? Wow! Bahkan penghasilan kedua orang tua saya tidak sebesar penghasilan mereka, para pengemis palsu.

Tiba-tiba saya mendapatkan sebuah ilham, cara untuk menggeser para pengemis itu. Menghapus pikiran kotor dan bodoh mereka, lebih tepatnya. Entrepreneur. Satu kata yang penuh makna, bagi saya. Begini, daripada menjadi pengemis di jalanan, mengapa kita tidak menjadi pengusaha saja. Pengusaha temporer pun tak apa toh, kalau menghasilkan uang yang jauh lebih besar ketimbang menjadi pengemis temporer? Usaha apa, modalnya bagaimana, resikonya kan banyak… halah! Jangan pikirkan hal itu dulu. Jadi pengemis juga harus bermodal: ongkos ke Jakarta dan bermuka tebal. Jadi pengemis juga harus berusaha: mampu menahan panas matahari, polusi, debu tebal ibukota dan berwajah sedih senantiasa. Jadi pengemis juga punya resiko: ditanggap trantib. Ada satu hal lagi yang sangat fatal bila kita menjadi pengemis gadungan: DOSA BESAR YANG BERAKIBAT NERAKA JAHANAM! Ahaha, masih tertarik?

Sekarang, mari kita teliti secara saksama hal-hal apa saja yang menjadi benefit dari pengusaha temporer. Pertama, hal yang sangat mendasar dan penting: harga diri anda tidak terabaikan, justru meningkat. Kedua, skill anda dalam negosiasi dan komunikasi pasti bertambah. Ketiga, anda akan menjadi lebih cerdik sebab anda harus memiliki strategi dalam menciptakan dan mempertahankan-walau sementara-usaha tersebut. Terakhir, hal yang sangat penting sebab inilah yang manusia cari: pendapatan yang anda miliki berlipat-lipat ganda!

Taukah anda bahwa dengan berjualan kolak dan gorengan di dekat masjid saat Ramadhan bisa menghasilkan laba bersih sebesar 4 kali lipat dari modal anda? Taukah anda bahwa dengan berjualan parsel Lebaran ke perusahaan atau instansi pemerintah dapat menghasilkan laba kotor 5 kali lipat dari modal awal anda?

Memang ide saya ini masih terdengar terlalu normative dan tidak applicable mengingat kepribadian masyarakat Indonesia saat ini. Namun, satu hal yang menjadi tujuan saya melalui tulisan ini. Andalah, yang saat ini sedang membaca esay singkat ini, yang sebaiknya dan semestinya memikirkan bagaimana caranya agar transformasi ini dapat terealisasikan. Ayo, hal ini adalah tanggung jawab kita semua!

No comments:

Post a Comment