20.11.12

[Kajian Post] Yang Malang nan Terlupakan: Para Calon Buruh

Oleh: Nathaniel Rayestu | Kadiv Kajian Kanopi 2012 | Ilmu Ekonomi 2009


Belakangan ini ramai dibicarakan kenaikan Upah Minimum Regional di Jakarta sebesar 40%, yakni dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 2,2 juta. Perdebatan yang diperbincangkan selalu mengambil dua sisi: kaum buruh yang selama ini merasa termarjinalkan mendapat ‘kemenangan’ karena upah mereka naik luar biasa besar; dan kaum pengusaha yang keberatan karena beban mereka menjadi sangat besar. Dalam negosiasi-negosiasi yang berlangsung kaum buruh diwakili serikat-serikat buruh dan asosiasi-asosiasi pekerja, sementara pengusaha diwakili asosiasi-asosiasi industri dan juga APINDO.

Mengutip ungkapan Frederick Bastiat dalam ‘What is Seen and What is not Seen’, perdebatan di atas terhenti pada apa yang terlihat. Yang tidak terlihat adalah, ribuan orang yang tidak jadi mendapat pekerjaan sebagai buruh karena ekspansi-ekspansi perusahaan kemungkinan harus batal sebagai akibat kenaikan UMR yang tinggi.

Para calon buruh, orang-orang yang berada di sektor informal atau pengangguran yang akan dengan senang hati menjadi buruh dengan upah dibawah UMR baru, namun sebagai akibat dari peningkatan UMR yang drastis, kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Bayangkan suatu pabrik yang berencana ekspansi dan menambah 1000 buruh baru, dan ketika UMR naik pabrik tersebut batal ekspansi. Itu berarti ada 1000 orang yang batal mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Lebih menyedihkan adalah bahwa tak seperti buruh dan pengusaha yang memiliki serikat untuk membela kepentingan mereka masing-masing di meja perundingan, para calon buruh tidak punya siapa-siapa.

Satu hal yang perlu diingat adalah fakta bahwa hampir setengah penduduk Indonesia hidup di bawah standar $2/hari (World Bank). Artinya ada setengah rakyat Indonesia yang berpenghasilan kurang dari Rp 600.000 sebulan, jauh di bawah upah minimum regional di beberapa daerah di Jakarta. Berapa banyak dari mereka yang akan dengan senang hati bekerja di bawah upah minimum yang ditentukan pemerintah, namun tidak mendapatkannya karena aturan tersebut? Dan siapa yang membela mereka?

Satu hal lagi yang menambah beban para buruh-wannabe adalah bahwa kenaikan upah buruh cenderung mendorong kenaikan harga-harga barang kebutuhan. Fenomena ini biasa terjadi setelah adanya pengumuman kenaikan upah buruh ataupun pengumuman kenaikan gaji PNS. Apesnya lagi, jika kenaikan UMR menyebabkan pengusaha melakukan PHK terhadap sebagian buruh mereka, buruh-buruh ini akan berpindah ke sektor informal dan bersaing dengan para calon buruh ini, dan menekan upah sektor informal menjadi lebih rendah lagi. Sudah jatuh, ketimpa tangga.

Inilah mengapa kebijakan populis seperti menaikkan UMR secara signifikan sangat perlu dipikirkan baik-baik. Jelas bahwa pro-buruh tidak sama dengan pro-rakyat, karena kebijakan tersebut justru membebani rakyat yang tingkat kesejahteraannya di bawah buruh. Dan karena kelompok ini tidak (mungkin) memiliki asosiasi untuk membela kepentingan mereka di meja perundingan, seharusnya Kemenakertrans yang mengambil posisi tersebut, bukan menghilangkan kesempatan kerja mereka. After all, bukankah menciptakan sebesar-besarnya lapangan kerja adalah tugas utama kementerian tersebut?

No comments:

Post a Comment