Rachmat Reksa Samudra | Staff Divisi Kajian Kanopi FEUI 2012 | Ilmu Ekonomi 2011
Tulisan ini bisa dibilang termasuk dalam lanjutan tulisan saya yang lalu mengenai konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas, namun saya ingin melihat ini dari sisi lain. Lebih tepatnya dari sisi bahasa politikakan kenaikan bahan bakar minyak bersubsidi itu sendiri.
Sering dikatakan dalam media, baik elektronik maupun cetak, bahwa pemerintah itu akan menaikkan harga BBM bersubsidi,
padahal menurut saya bukanlah harga BBM bersubsidi tersebut yang naik, Melainkan subsidi dari BBM tersebut yang
dikurangi atau di cabut. Sebenarnya, BBM
tanpadi subsidi
pun harganya akan konstan dalam level tertentu,
atau mungkin sedikit berfluktuasi di level
tersebut mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. Mari kita ambil contoh BBM
jenis Pertamax. Pertamax merupakan BBM yang
mempunyai oktan
93 dan tidak bersubsidi. Harga Pertamax mengikuti harga minyak dunia, di kisaran Rp8.000,00—Rp9.000,00,
yang artinya harga pertamax berfluktuasi di
kisaranRp1.000,00.
MengapaCabut?
Pemerintah pasti punya alasan mengapa subsidi BBM harus dicabut—atau dengan kata lain
menaikkan harga
BBM bersubsidi, yaitu premium. Tidak mungkin pemerintah hanya seenaknya saja mencabut tanpa alasan tertentu. Alasan yang pertama dan paling mendasari keputusan pencabutan subsidi adalah kenaikan harga minyak dunia. Asumsi RAPBN 2012
adalah harga minyak dunia berada di level USD 90.
Namun, karena adanya ketegangan di Timur
Tengah, yaitu Iran dengan Israel, menyebabkan Iran yang notabene Negara penghasil minyak yang mempunyai pengaruh dalam produksi minyak dunia, menurunkan angka ekspor minyaknya dari 500.000 barel/hari menjadi di kisaran
300.000-400.000 barel/hari yang menyebabkan kelangkaan minyak. Kelangkaan minyak itulah yang menyebabkan sekarang harga minyak dunia berada di kisaran USD 123, melebihi ekspektasi pemerintah dalam RAPBN 2012 yang
sekitar USD 90, sehingga APBN 2012 dengan tergopoh – gopoh membiayai subsidi BBM.
Selain itu, ternyata, BBM
bersubsidi banyak di nikmati oleh golongan orang-orang
kaya, bukan orang-orang miskin. Jangan melihat dari jumlah KK yang
menikmati BBM bersubsidi tersebut,
namun mari kita lihat dari porsi pemakaiannya. Andai
kata tipikal satu keluarga kaya yang
tinggal di Jabodetabek mempunyai tiga mobil. Setiap hari ketiga mobil itu dipakai oleh masing-masing anggota keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak . Dengan asumsi setiap mobil mengisi full-tank dengan
BBM bersubsidi dengan jumlah Rp150.000,00,
lalu pengisian full-tank itu dilakukan seminggu dua kali, bias dikatakan dalam seminggu itu saja, si keluarga kaya
menggunakan BBM bersubsidi sebesar
Rp900.000,00—dengan kata lain dalam sebulan, si keluarga kaya
menghabiskan Rp3.600.000,00 hanya untuk konsumsi BBM. Mari kita bandingkan dengan keluarga miskin di pedesaan yang
mempunyai satu
motor, yang biasanya motor itu motor semi besar untuk kegiatannya komuter ke kota terdekat. Dengan asumsi motor tersebut mempunyai kapasitas full-tank sebesar
Rp50.000,00 sekali mengisi dan dalam seminggu, hanya terjadi sekali pengisian bensin. Dapat dikatakan dalam sebulan, si keluarga miskin hanya mengonsumsi BBM
bersubsidi sebesar
Rp200.000,00. Dengan perbandingan kasar yang saya lakukan, dapat dengan jelas terlihat bahwa penggunaan subsidi BBM lebih banyak digunakan oleh si kaya, bukan si miskin, yang menyebabkan penggunaan subsidi tersebut salah sasaran.
Ada hal lain yang baru saya tahu, bahwa sebenarnya adalah salah ketika subsidi itu di nikmati untuk penggunaan konsumsi. Seharusnya,
subsidi itu digunakan untuk produksi dan investasi. Inilah mindset
orang-orang Indonesia yang salah sejak dari 1962, tahun di
mana subsidi
BBM pertama kali dilakukan.
Lalu?
Kembali kejudul tulisan ini, yaitu Cabut Bukan Naik,
saya lebih setuju bahwa media - media penyiar berita menggunakan kata pencabutan subsidi BBM,
bukan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Daripada APBN
2012 harus tergopoh – gopoh membiayai subsidi BBM yang
semakin berat karena ketidakpastian harga minyak dunia, lebih baik subsidi tersebut di cabut dan dialihkan kebidang – bidang yang lebih membutuhkan, seperti kesehatan, pendidikan,
dan pengembangan infrastruktur, sehingga social
welfare Indonesia secara keseluruhan dapat meningkat.
***
No comments:
Post a Comment