Frida
Yanti Putri Nababan | Wakadiv Divisi Kajian Kanopi FEUI 2012 | Ilmu Ekonomi 2010
Selain isu kenaikan harga BBM dan
isu impor beras yang belakangan ini marak dibicarakan di tengah masyarakat, ada
satu isu lain yang menurut saya menarik untuk dibahas, yaitu tentang efektifkah
fungsi intermediaris perbankan di tengah perekonomian Indonesia yang kini
tengah tumbuh. Dunia secara optimis memandang Indonesia sebagai salah satu mesin
penggerak ekonomi global di masa mendatang. Untuk mewujudkannya, diperlukan
sektor riil yang handal dan didukung oleh sektor keuangan yang kuat dan efisien,
dalam hal ini perbankan memegang posisi penting.
Salah
satu fungsi bank adalah untuk menghimpun dana dari orang-orang yang surplus untuk kemudian didistribusikan
kembali kepada orang-orang yang membutuhkan dana. Bank memiliki dua tingkat
suku bunga, yaitu, tingkat suku bunga deposito dan tingkat suku bunga kredit.
Suku bunga deposito adalah kewajiban bank untuk membayarkan sejumlah bunga
sebagai insentif kepada penabung,
sedangkan suku bunga kredit adalah pendapatan bank akibat telah meminjamkan
uang kepada peminjam/investor sebagai kompensasi terhadap resiko gagal bayarnya(default risk). Suku bunga kredit akan
selalu lebih besar daripada suku bunga deposit, selisih (spread) diantaranya adalah net
interest margin (NIM) perbankan. Tentu saja sebagai perusahaan, perbankan akan mengusahakan untuk mendapatkan net interest margin yang tertinggi,
artinya sebisa mungkin perbankan akan meningkatkan spread yang diperoleh. Namun
fungsi perbankan sebagai agen perekonomian yang menyalurkan kredit membatasi
perbankan untuk memperoleh spread
setinggi-tingginya. Jika perbankan ingin meningkatkan spread, artinya perbankan bisa mengurangi tingkat suku bunga deposito atau meningkatkan tingkat suku bunga
kredit. Kembali lagi karena fungsinya, perbankan akan cenderung kesulitan untuk
menurunkan tingkat suku bunga deposito karena action itu akan men-disinsentif
masyarakat untuk menabung di perbankan, karena masyarakat akan cenderung
mencari institusi keuangan lainnya-seperti pasar modal yang mulai diminati oleh
masyarakat karena yield yang relative
tinggi - yang bisa memberikan insentif lebih kepadanya untuk menabung dan ini
akan berbahaya untuk perbankan. Lalu bagaimana dengan suku bunga kreditnya ? Apakah
perbankan akan dengan mudah menaikkan suku bunga kreditnya ?
Menaikkan
suku bunga kredit adalah keputusan yang juga sangat berat bagi perbankan karena
kredit merupakan salah satu sumber pendanaan bank sekaligus sebagai alat
stimulus perekonomian, yaitu stimulus sector riil melalui dana pinjamannya.
Karena adanya cross-interest
diantara dua hal itu, Bank Indonesia
menetapkan sebuah tingkat bunga acuan
bagi penetapan suku bunga perbankan komersial, BI Rate. BI Rate telah turun sebesar 100 basis poin ( 1%) dalam
waktu setahun (Februari 2011-Februari 2012). Hal ini menunjukkan sikap Bank
Indonesia yang mendukung penguatan pondasi ekonomi dalam menghadapi krisis
keuangan Eropa yang belum terlihat solusinya, artinya kita tidak boleh rely on export dan capital inflow yang
bisa menyebabkan “ capital bonanzaz” dan “sudden
stop” phenomenon yang sangat berbahaya bagi Indonesia. Indonesia harus
mampu fokus pada pemenuhan konsumsi dometik yang sesungguhnya sangat besar ,dengan
berharap bank umum juga akan menurunkan tingkat suku bunga kredit dan
memudahkan investor-investor mendapatkan dana untuk membuka usaha bahkan
membuka lapangan kerja baru dan (diharapkan) akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
Namun,
mengapa suku bunga kredit perbankan masih tinggi sementara BI rate telah turun ?
Mengapa perbankan tidak dengan mudah menurunkan saja tingkat suku bunga kredit
sehingga banyak pengusaha besar dan kecil dapat mengembangkan usaha mereka atau
bahkan membuka lapangan kerja baru sehingga dalam jangka panjang, masyarakat
akan mempunyai income lebih untuk
menabung dan akan meningkatkan dana pihak ketiga (DPK) perbankan sehingga dapat
meminjamkan lagi dengan bunga lebih tinggi karena income masyarakat makin tinggi dan default risk nya semakin kecil?
Ternyata
kenyataan tidak seindah itu. Perbankan masih mempertahankan suku bunga kredit
diatas 10 persen meskipun penurunan BI Rate terus terjadi didasarkan atas
banyak pertimbangan.
Pertama,
masih
tingginya default risk masyarakat
Indonesia. Penyebab lending interest
Indonesia masih lebih tinggi dari negara-negara tetangga adalah karena default risk nya masih sangat tinggi
terkait dengan masih “kurang bersahabatnya” masyarakat Indonesia terhadap akses
financial . Ditambah lagi dengan demand terhadap kredit yang masih lebih
tinggi dari simpanan yang memaksa perbankan memiliki cadangan yang besar.
Kedua,
rasio
BOPO (Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional) mencapai 87,22 persen
(Indonesian Banking Statistics). Ini terbilang tinggi karena rasio BOPO di
kawasan ASEAN berada antara 40-60 persen, artinya terjadi inefisiensi di
perbankan Indonesia ,seperti bank harus melakukan ekspansi usaha, mulai investasi
system teknologi informasi, re-engineering system, maupun ekspansi
jaringan kantor. Maka dapat dimengerti jika perbankan masih membutuhkan waktu
untuk menurunkan suku bunga kreditnya, jangan sampai high risk low return
benar-benar terjadi.
Penulis
percaya suku bunga kredit perbankan bisa turun secara signifikan. Selain menerapkan
tranparansi SBDK (Suku Bunga Dasar Kredit) untuk mengurangi asymmetric information di pasar dan dapat mengurangi spread perbankan, penulis melihat
pentingnya Bank Indonesia dalam memberi insentif ke perbankan untuk menurunkan
suku bunga kredit dengan membantu meminimalisir default risk yang berpotensi
mengikis spread perbankan, misalnya
dengan memberikan pelatihan manajemen demi efisiensi produksi perusahaan,
terutama UMKM, yang di jangka panjang akan sangat berdampak baik bagi
perekonomian.
Perlu disoroti juga tingkat persaingan perbankan yg rendah. NIM bisa tinggi karena ga terjadi persaingan yg ketat dlm memberi pinjaman. Padahal, bank2 besar di indo hampir semua punya pemerintah, tapi justru gagal dlm fungsi "agent of development". Salah satu solusi ya izinkan semakin banyak bank asing yg besar2 masuk, biar persaingan semakin ketat. (Donny HPP)
ReplyDelete