22.4.10

ACFTA, Ancaman atau Peluang?


Pro dan kontra tentang ACFTA belakangan ini cukup ramai dibicarakan masyarakat. Seolah datang tiba-tiba, ACFTA menjadi momok yang mengancam keberadaan produsen dan kesejahteraan jutaan buruh di dalam negeri. Banyak orang mengkhawatirkan bahwa dengan berlakunya ACFTA, produk murah dari Cina akan mulai membanjiri pasar dalam negeri. Hal tersebut pada akhirnya dapat berujung pada matinya industri dalam negeri dan hilangnya jutaan lapangan pekerjaan. Tapi, apakah benar ACFTA seburuk itu? Dalam menganalisis masalah baik buruknya keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA ini, diperlukan pengamatan secara menyeluruh terhadap perjanjian itu sendiri, kondisi produk Indonesia di pasar dunia, kondisi perdagangan Indonesia dengan Cina, dan kemungkinan kondisi perdagangan Indonesia di masa depan.

Sejarah Singkat ACFTA dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia

ACFTA adalah sebuah kesepakatan antara 6 negara yang tergabung dalam ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, Brunai Darussalam) dan RRC untuk melakukan penurunan tarif dalam perdagangan antara negara-negara yang tergabung dalam perjanjian ini secara bertahap, dengan target penurunan tarif hingga nol persen. Walau terkesan baru, pembicaraan tentang ACFTA sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2002, yakni dengan ditandatanganinya Framework Agreement antara ASEAN dengan RRC. Kemudian di tahun 2004 , perjanjian tersebut dilanjutkan dengan persetujuan mengenai tahapan penurunan tarif komoditas yang hendak diperdagangkan. Tahapan penurunan tarif itu terbagi tiga, yaitu normal track (untuk produk-produk non sensitif), diikuti sensitive track (contoh: sepatu, besi dan baja, mainan, barang-barang dari kulit, dll. yang mencakup 304 komoditas), dan terakhir adalah highly sensitive track (contoh: tekstil, produk tekstil, beras, gula, jagung, kedelai, dll. yang mencakup 47 komoditas). Enam tahun kemudian, tepatnya pada Januari 2010, dimulailah penurunan tarif tahap pertama menjadi nol persen untuk barang-barang normal track.

Di Indonesia sendiri, penurunan tarif sebenarnya telah dilakukan secara unilateral (sepihak) dengan sangat cepat sejak reformasi. Hal ini didorong oleh LOI dengan IMF sewaktu krisis tahun 1997 yang mengharuskan Indonesia untuk lebih terbuka pada perdagangan. Hasilnya, di tahun 2008 tingkat tarif Indonesia telah berada pada rata-rata 4,63%. Pada prosesnya, penurunan tarif di Indonesia dilakukan secara bertahap, yaitu dari rata-rata 6% ke 4% di tahun 2008, lalu 4% ke 3% di tahun 2009, dan memasuki 2010 menjadi 0% untuk barang normal track pada perdagangan di ACFTA. Sehingga, penurunan tarif yang dilakukan Indonesia sama sekali tidaklah tiba-tiba, namun dilakukan secara perlahan selama beberapa tahun terakhir.

Produk Indonesia Kurang Kompetitif

Sejalan dengan penurunan tarif yang dilakukan Indonesia, perlahan kita mulai menyadari kenyataan bahwa produknya kurang kompetitif di beberapa sektor, terutama industri manufaktur, sehingga telah mengakibatkan kerugian yang cukup signifikan pada beberapa produsen di berbagai sektor. Analisis dari bapak M. Chatib Basri, seorang dosen dan peneliti di FEUI mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan produk Indonesia kurang kompetitif, yaitu biaya logistik yang sangat tinggi, undang-undang tenaga kerja yang sangat memberatkan pengusaha, dan pemerintahan yang belum bersih.

Biaya logistik mencakup biaya transportasi antar daerah di Indonesia. Biaya ini dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur dalam negeri dan menjadi bagian yang cukup besar dalam biaya produksi dan distribusi barang. Kenyataan yang dihadapi Indonesia adalah, infrastruktur dalam negeri sangatlah tidak memadai. Sebuah riset yang dilakukan oleh World Bank mengatakan bahwa, biaya transpotasi darat di Indonesia per kilometer adalah sekitar 1,5 kali rata-rata biaya transportasi di Asia karena kualitas infrastruktur yang buruk. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan dalam biaya produksi sehingga menjadi semakin tidak kompetitif dibandingkan produk dari negara lain.

Yang kedua, masalah undang-undang tenaga kerja di Indonesia. Awalnya, undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi tenaga kerja, namun pada akhirnya undang-undang ini ternyata menjadi beban yang cukup berat bagi pengusaha Indonesia. Misalnya saja ketentuan bahwa ketika mem-PHK pekerjanya, perusahaan harus membayar 24 bulan gaji pegawai tersebut. Pengusaha dalam hal ini dibuat harus menanggung beban yang sangat tinggi dari pekerjanya, yang kemudian dapat membuat dia tidak ingin mengambil tenaga kerja tetap baru dan lebih memilih untuk melakukan outsourcing. Penelitian LPEM FEUI mengatakan bahwa penanganan masalah perburuhan telah menjadi bagian yang cukup dignifikan dalam biaya produksi, yaitu mencapai 4,6% dari biaya produksi di Indonesia. Tambahan biaya sebesar itu sangat merugikan bagi sektor industri dan membuat produk Indonesia tidak kompetitif di pasar internasional.

Yang ketiga, pemerintahan yang belum bersih. Seperti yang telah umum diketahui, dalam melaksanakan berbagai kegiatan, pengusaha perlu membayar biaya-biaya yang seharusnya tidak diperlukan kepada oknum-oknum di pemerintahan. Oleh LPEM, biaya tersebut diperkirakan rata-rata mencapai 1,6 % dari total biaya produksi Indonesia. Ini kemudian menjadi penambah dari beban biaya yang membuat produk Indonesia semakin tidak kompetitif di pasar Internasional .

Ketiga faktor di atas, yang menurut analisis M. Chatib Basri adalah penyebab produk Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar internasional, adalah masalah internal di Indonesia. Melihat akar masalahnya yang merupakan masalah internal, maka sewajarnya penanganannya adalah penanganan internal. Dengan demikian, kurang kompetitifnya produk Indonesia tidak seharusnya ditangani dengan menolak keterbukaan perdagangan atau dengan mempersalahkan pihak eksternal (negara lain).

Raksasa Cina yang Menyeramkan

Sudah menjadi pendangan umum bahwa Cina adalah ancaman bagi perekonomian Indonesia, apalagi dihadapkan dengan produk Indonesia yang kurang kompetitif. Negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia ini selama beberapa tahun terakhir bahkan telah mampu menjadi eksportir terbesar dunia, mengalahkan kekuatan lama seperti Amerika Serikat, Jepang dan Jerman. Harga barang dari Cina yang begitu rendah telah membuat produsen barang industri manufaktur di seluruh dunia, termasuk Indonesia, terancam karena tidak mampu bersaing. Hal ini lah yang menjadi ketakutan terbesar sebagian besar orang ketika menghadapi kenyataan bahwa tarif untuk barang-barang tertentu dari Cina telah menyentuh nol persen.

Cukup wajar bila banyak orang takut. Selama dua tahun terakhir, neraca perdagangan Indonesia-Cina telah bernilai negatif. Selain itu, sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari bahwa barang Cina telah membanjiri pasar dalam negeri. Cukup banyak pengusaha pun telah menyatakan kesulitannya untuk bersaing dengan produk-produk murah Cina dan beberapa ahli telah memperkirakan hilangnya ratusan ribu pekerjaan karena banyak perusahaan akan gulung tikar karena kalah dalam persaingan. Semua kondisi ini terlihat sangat menyudutkan Indonesia, apalagi ketika dihadapkan dengan ACFTA. Namun, seperti apa sebenarnya pola perdagangan yang terjadi dengan Cina?

Data perdagangan yang ditunjukkan oleh komisi perdagangan PBB ternyata cukup mengejutkan. Berlawanan dengan kepercayaan umum bahwa Ekspor Indonesia ke Cina utamanya adalah bahan mentah, ternyata porsi terbesar ekspor Indonesia ke Cina adalah barang konsumsi (tahun 2008: 35,5% dari ekspor Indonesia-Cina), lalu di tempat kedua adalah bahan mentah (tahun 2008: 31,7% dari total ekspor Indonesia-Cina), dan di tempat ketiga adalah barang setengah jadi (tahun 2008: 28% dari total ekspor Indonesia-Cina). Selain itu, juga berlawanan dengan kepercayaan umum bahwa impor Indonesia dari Cina adalah barang konsumsi sehingga industri pengolahan akan mati, ternyata impor utama Indonesia dari Cina adalah barang modal (tahun 2008: 43,3% dari total impor Indonesia dari Cina), lalu di tempat kedua adalah barang setengah jadi (tahun 2008: 35,5% dari total impor Indonesia dari Cina) dan baru di tempat ketiga lah barang konsumsi (tahun 2008: 14,7% dari total impor Indonesia dari Cina). Dengan mengacu pada data dari komisi perdagangan PBB ini, perdagangan Indonesia dengan Cina sesungguhnya akan semakin menggerakkan sektor industri Indonesia dan disaat yang bersamaan justru akan memacu ekspor Indonesia. Hal ini dimungkinkan oleh impor barang modal yang sangat besar dari Cina dan Ekspor barang konsumsi yang juga sangat besar ke Cina.

Barang modal dan setengah jadi, yang menjadi impor utama dari Cina adalah kebutuhan dasar dalam Industri. Barang-barang ini terdiri dari mesin, peralatan produksi lain, bahan yang akan diolah lagi, atau dengan kata lain adalah barang-barang yang sesungguhnya sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas industri Indonesia. Kenyataannya ada cukup banyak mesin-mesin tua yang tidak produktif di pabrik-pabrik Indonesia, dan dengan impor mesin produksi dari Cina, tentu hasil produksi Industri dapat ditingkatkan dengan cepat. Dengan demikian, dari sisi impor, perdagangan Indonesia dengan Cina sangat menguntungkan.

Dari sisi ekspor, data menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke Cina pada barang konsumsi terus meningkat dengan cepat dan meningkatkan porsinya sebagai ekpor utama Indonesia ke Cina. Ini memberi harapan bahwa di masa depan, ekpor Indonesia ke Cina akan terus meningkat, terlebih lagi karena dibantu oleh barang modal yang justru diimpor dari Cina.

Menghadapi adanya tren baru dalam neraca perdagangan Indonesia-Cina yang terlihat akan semakin negatif, sesungguhnya kita tidak perlu menanggapinya dengan ketakutan yang berlebihan. Lagipula, tidak ada gunanya takut bahwa neraca perdagangan Indonesia-Cina terus negatif selama neraca perdagangan Indonesia dengan “seluruh dunia” masih positif. Meskipun belum cukup bukti, namun ada kemungkinan yang terjadi adalah Indonesia mengimpor barang modal murah dari Cina dan mengekspor hasil industri pengolahan domestik ke negara-negara lain, misalnya India. Artinya ada kemungkinan neraca perdagangan yang negatif dengan Cina membuat neraca perdagangan dengan negara-negara lainnya justru semakin positif. Namun demikian, seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, hal tersebut masih membutuhkan pembuktian.

Masa Depan Indonesia setelah ACFTA

Keadaan perdagangan Indonesia setelah ACFTA sesungguhnya masih sulit diprediksi, dan bahkan para ahli pun tidak sepakat. Sebagian ekonom mengatakan bahwa di masa depan ekspor Indonesia akan meningkat karena ACFTA membuka pasar yang sangat besar di Cina. Di sisi lain, cukup banyak ekonom meragukan hal tersebut karena kenyataan produktivitas Indonesia yang masih rendah dan belum kompetitif. Apapun yang terjadi nantinya, kenyataannya Indonesia tidak dapat mundur lagi dari perjanjian ini.

Yang sesungguhnya perlu dilakukan Indonesia saat ini adalah bergerak cepat untuk memanfaatkan berbagai peluang yang terbuka oleh ACFTA sambil meningkatkan kompetitiveness Indonesia dengan perbaikan dalam negeri. Bukan lagi saatnya meratap dan meminta pasar Indonesia ditutup karena takut bersaing. Keterbukaan perdagangan harus dianggap sebagai terbukanya peluang pasar ekspor yang luas sekaligus tersedianya bahan baku industri dari impor yang murah. Untuk masalah internal, seharusnya diselesaikan dengan perbaikan internal, bukan dengan menutup diri dan menyalahkan pihak asing. Hanya dengan cara demikianlah Indonesia dapat mengambil nilai positif dari ACFTA.

(Tulisan ini ditulis oleh Donny H.P. Pasaribu, Kepala Divisi Kajian Kanopi FEUI.)

Sumber foto: http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/images/stories/asean_china-bendera.jpg

No comments:

Post a Comment