9.3.12

[Kajian Post] Has Greed Ever Been Good?

Oleh: Alvin Ulido Lumbanraja | Staff Divisi Kajian Kanopi 2012 | Ilmu Ekonomi 2011


“Cinta uang adalah akar dari segala kejahatan” - St. Paulus


Saya sedang bersantai sore ketika saya melihat kultwit tentang pola konsumsi dunia yang makin mengkhawatirkan. Pada awalnya, saya tidak terlalu memperhatikan  isu pola konsumsi masyarakat dunia ataupun isu-isu lingkungan lainnya yang mencuat di media. Namun, angka-angka yang disajikan dalam kultwit itu lebih dari cukup untuk menggelitik saya; diperlukan 1.3 planet bumi untuk mempertahankan pola konsumsi saat ini, serta perlu 7 planet bumi apabila seluruh dunia mengikuti pola konsumsi yang mirip dengan masyarakat Amerika Serikat. Masalah lingkungan baru akan benar-benar terasa menjelang pertengahan abad 21.

Setelah saya merenung lebih jauh, saya melihat bahwa masalah ini sebenarnya memiliki akar yang tidak terlalu mengejutkan; ketamakan (greed). Perenungan lebih jauh mengantar saya pada kesimpulan awal bahwa selain dalam masalah dengan alam, ketamakan adalah akar dari segala masalah ekonomi dunia lainnya. Namun sebelum anda mulai menghakimi saya sebagai seorang yang sok sosialis, sok peduli lingkungan, atau sok religius, kita harus melihat lebih jauh apa yang diciptakan dan diberikan rasa tamak terhadap sistem ekonomi dunia yang ada saat ini.

Perkataan “tamak itu baik”, dipopulerkan oleh Gordon Gekko dalam film Wall Street, melambangkan nilai-nilai yang ada dalam ekonomi itu sendiri. Ketamakan, diakui ataupun tidak, adalah dasar dari seluruh ideologi ekonomi yang dicita-citakan manusia. Rasa tamak, dibumbui rasa iri, mendorong manusia untuk membuat bagi dirinya sesuatu yang lebih; lebih besar ataupun lebih kecil, lebih indah, lebih canggih, serta lebih baik dibanding segala sesuatu yang telah ada. Rasa tamak, dibumbui rasa tidak percaya diri, menimbulkan penyakit ikut-ikutan, atau dalam bahasa Inggris populer disebut “Keeping Up With the Joneses”. Ketamakan, bersama rasa takut, adalah proyeksi citra kemanusiaan. Ia adalah ruh dari manusia, kemanusiaan, serta peradaban.

Saya secara pribadi tidak terlalu mempersoalkan rasa tamak dalam diri manusia. Tamak itu bukan hanya baik [sic], namun juga manusiawi. Masing-masing manusia, bahkan yang paling dermawan sekalipun, memiliki rasa tamak. Permasalahan muncul ketika kita membahas akibat dari ketamakan manusia bagi sekitarnya, atau dengan bahasa canggih, eksternalitas dari ketamakan, kita akan lebih banyak melihat eksternalitas negatif dari ketamakan, seperti pada masalah yang saya uraikan sebelumnya.


Apabila ketamakan adalah ruh peradaban, lantas apa yang salah?


Adam Smith pernah berkata bahwa dengan mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, manusia sebagai individu dapat mencapai kemajuan bersama di masyarakat. Saya tidak menganggap pernyataan tersebut salah, namun apakah pernyataan ini merupakan suatu pembenaran yang tepat bagi ketamakan? Apakah ketamakan itu sendiri bisa dibenarkan?

Ketamakan mendorong manusia untuk mencapai kesejahtaraan materiil. Pengejaran kekayaan materiil bukan hanya memberikan kepuasan yang paling cepat, namun juga  paling mudah bagi manusia. Ketamakanlah yang membuat para industrialis dan kaum kaya mengonsumsi barang-barang mewah yang terbaik. Ketamakanlah yang membuat kaum kelas menengah meniru-niru konsumsi berlebihan kaum kaya. Ketamakanlah yang membuat banyak masyarakat kelas pekerja mencoba hidup di luar batas kemampuannya. Namun, ada harga yang harus dibayar dari konsumsi-konsumsi masyarakat yang terus meningkat. Mereka menghadapi kendala berupa batasan sumber daya yang mampu diberikan bumi. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menambah batasan yang ada dengan teknologi yang ada sekarang.

Namun, adakah individu yang mau bertanggung jawab apabila mereka terus menerus menambah daftar belanja mereka dengan harga sebuah risiko hilangnya sumber-sumber daya strategis di masa depan? Ironis bahwa buku-buku teks ekonomi memampatkan kisah mengenai Tragedy of the Commons bersama dengan anjuran untuk meningkatkan konsumsi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dalam satu buku. Siapa yang rela dianggap dungu dengan menganjurkan pengendalian pertumbuhan ekonomi dengan cara menahan percepatan laju konsumsi? Ekonom tampaknya berguru lebih sedikit pada pengalaman dibanding yang kita kira. Siapa yang peduli?


Sepertinya sang ruh peradaban tengah menghancurkan peradaban itu sendiri

No comments:

Post a Comment