9.3.12

[Kajian Post] Goodbye China, Hello Indonesia?

Oleh: Frida Yanti Putri Nababan | Wakil Ketua Divisi Kajian Kanopi 2012 | Ilmu Ekonomi 2010

Krisis Amerika dan Eropa belakangan ini telah menjadi indikasi melemahnya kekuatan negara-negara Barat dan mulai bergesernya kekuatan ekonomi dari Barat ke Timur. IMF bahkan secara eksplisit mengatakan “Age of America” sudah hampir berakhir dan China akan muncul sebagai kekuatan ekonomi baru hanya dalam 5 tahun mendatang (Market Watch).

Mengapa China diposisikan seoptimis itu? IMF menggunakan PPP (Purchasing Power Parity) sebagai alat untuk membandingkan ekonomi Amerika dengan China karena PPP mengukur secara cukup akurat besarnya pemasukan dan pengeluaran real masyarakat didalam ekonomi domestik. PPP di China diprediksikan akan naik dari $11.2 Trillion tahun 2011 menjadi $19 Trillion di tahun 2016 sedangkan Amerika akan tumbuh dari $15.2 Trillion ke $18.8 Trillion. Hal itu diprediksikan akan mengawali turunnya sumbangan output Amerika atas dunia sebesar 17.7 % sedangkan China akan menyentuh 18% dan akan terus tumbuh-hingga batas tertentu- akibat produktifitas tinggi yang berasal dari faktor produksi yang murah dan kebijakan devaluasi. Padahal 10 tahun lalu ekonomi Amerika 3 kali lebih besar dari China (Goldman Sach).

Namun, disisi lain Nouriel Roubini-Dr. Doom, Professor of Economics- menolak dengan tegas prediksi ini. Roubini mengatakan secara substansial Indonesia jauh lebih berpotensi untuk menjadi kekuatan baru ekonomi dunia. Hal senada juga diutarakan oleh Fitch (Jakarta Post). Di tahun 2030 Indonesia diprediksikan menjadi salah satu dari 6 negara terbesar di dunia. Indonesia memiliki inflasi yang rendah-meskipun penulis merasa hal ini bukan indikator yang cukup akurat,karena inflasi Indonesia masih bersifat artificial akibat kebijakan subsidi BBM yang masih belom jelas arahnya-, debt to GDP ratio yang masih relatif rendah (31.5 persen), young demographics dan economy pro-growth at 6.5% di tahun lalu yang memberi ruang untuk terus tumbuh secara signifikan. Meskipun sektor ekspor diprediksikan akan turun akibat krisis global, penulis melihat konsumsi domestik dan foreign direct investment tetap bisa menjadi ‘kaki’ yang mengokohkan berdirinya ekonomi Indonesia. Penulis sepakat dengan argument Roubini melihat saat ini China sedang overheating dengan pertumbuhan double digit yang tingkat inflasinya tinggi (10.5% untuk sektor makanan). Over-relying on export yang sangat berbahaya bagi China dalam kondisi global yang kurang bersahabat saat ini dan terperangkapnya China dalam kondisi overinvestment-fixed investment share of GDP bertambah mencapai 50% di tahun 2010 hingga 2011- menyebabkan perlambatan ekonomi China.

Terlepas dari apakah Indonesia lebih baik dari China atau tidak, yang terpenting adalah akankah Indonesia mampu membuktikan prediksi-prediksi optimis para ekonom tentang ekonomi masa depan Indonesia, terutama mempertanggungjawabkan pengakuan dunia terhadap posisi Indonesia yang belum lama ini naik ke level investment grade? So far, Indonesia sedang berada dalam kondisi makro dan ‘keberuntungan’ yang cukup baik. Namun sama seperti yang sering ditekankan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk bisa memanfaatkan peluang itu, diantaranya mengatasi defisiensi infrastruktur yang sering membuat berinvestasi di Indonesia menjadi costly, kurangnya diversifikasi ekspor-terutama barang jadi (final goods) yang bernilai jual tinggi dan bersaing-, budaya korupsi dan sistem birokrasi yang kurang efisien, yang cepat atau lambat berpotensi menjadi ‘bumerang’ bagi Indonesia sendiri.

No comments:

Post a Comment