18.4.12

[Kajian Post] Impor Buah: Amankah?

Rachel E. H | Staff Divisi Kajian Kanopi FEUI 2012 | Ilmu Ekonomi 2011

Setelah beberapa hari bingung mencari ide untuk kajian post kedua, malam ini saya memutuskan untuk mengangkat isu tentang ketahanan pangan. Namun sesampainya di kamar kosan, sebuah artikel di sebuah surat kabar menggelitik saya untuk membacanya. Dan akhir dari segala usaha saya untuk membuat tulisan kali ini berakhir pada satu masalah yang jarang kita perbincangkan: “perbuahan”. Mungkin terdengar asing, namun saya rasa tidak ada salahnya bagi kita mempelajari suatu hal yang baru, bukan?

Sebelumnya saya mau bertanya kepada para pembaca sekalian: seberapa seringkah anda makan buah? Banyak orang berkata bahwa makin sering kita bertemu dengan sesuatu, makin besar pengetahuan kita tentang sesuatu itu. Pertanyaan tadi saya ajukan guna mengajak kita untuk melihat (baca: menguji pernyataan sebelumnya) apakah frekuensi anda memakan buah berkorelasi positif dengan kepedulian anda terhadap fenomena ekonomi yang terjadi pada buah itu sendiri. Sebab berdasarkan pengalaman saya sebagai konsumen buah dalam bentuk jus, kepedulian dan kesadaran mengenai gejala ekonomi tentang buah jarang sekali terlintas dalam benak orang-orang kebanyakan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini izinkanlah saya untuk menilik keadaan perbuahan nasional: impor buah.

Apabila kita menghitung jumlah pintu masuk impor untuk buah dan sayur yang dibuka oleh pemerintah Indonesia, dapat dikatakan bahwa negara kita termasuk yang paling bebas membuka pelabuhan  impor. Menurut Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati Kementrian Pertanian, Arifin Tasrif, sampai saat ini Indonesia baru mampu mengekspor tujuh macam buah. Itupun hanya tersebar di kawasan ASEAN, China, dan Timur Tengah. Buah Indonesia belum bisa memasuki Australia dan Amerika Serikat karena ada proteksi dalam kedua negara terhadap petaninya. Perlindungan bagi produsen juga dilakukan oleh bangsa Eropa dengan menetapkan Belanda sebagai satu-satunya pintu masuk bagi impor. Alih-alih China melakukan proteksi yang serupa dengan Eropa (pembukaan satu pintu masuk bagi impor), negara kita membuka delapan pintu masuk bagi impor. Sekali lagi saya katakan: Indonesia terlalu membuka keran impor hortikultura.

Memangnya kenapa kalau kita banyak impor buah? Bukankah sudah terbukti bahwa impor beras lebih baik dibanding terus bertahan dengan beras nasional? Sayangnya beras dan buah tidaklah sama, lagipula tidak semua impor itu baik. Ada tiga aspek yang akan saya sorot sebagai dampak dari impor buah yang berlebihan (berlebihan dalam konteks ini berarti permisif bukan excess supply of import). Pertama, seperti yang telah saya singgung secara implisit, impor buah dapat mengancam para petani buah nasional. Secara kuantitas sebenarnya para petani Indonesia telah mampu mencukupi kebutuhan nasional, tetapi kualitas buah yang mereka hasilkan belum sebaik kualitas buah impor. Tidak bisa dipungkiri, dalam kasus ini teknologi yang menjadi hambatan. Selain itu menurut Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan, konsep perkebunan skala luas yang perlu dikembangkan guna meningkatkan produktivitas para petani nasional adalah melalui pembangunan jaringan pertanian di hulu bukan dengan sistem penyerobotan yang perusahaan besar terhadap petani-petani kecil. Kedua, impor buah mampu melemahkan ketahanan pangan Indonesia. Makin besar impor yang kita lakukan berarti makin besar ketergantungan kita akan produk impor. Berarti akan makin besar juga power negara pengimpor untuk mempengaruhi food security di negara kita. Ketiga, keamanan pangan di negara ini berkecenderungan terganggu oleh produk impor yang membuka peluang penyebaran hama penyakit bagi tanaman. Kedepannya apabila hal ini terjadi, berarti masalah bangsa ini akan bertambah lagi.

Kabar baiknya mengenai ke-liberal-an Indonesia mengimpor buah ini, sudah ada strategi teknis yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam melindungi petaninya. Mengutip laporan Kompas, pemerintah provinsi Jawa Timur mengeluarkan peraturan gubernur yang mengatur dan melarang peredaran buah dan sayur impor di pasar tradisional (hanya buah dan sayur lokal saja yang boleh dijual). Contoh lainnya, apabila di kabupaten Malang sedang panen mangga maka mangga impor dilarang beredar di sana. Diharapkan akan ada inovasi lainnya terkait masalah ini untuk meminimalisasi dampak buruk dari impor buah.

Berangkat dari permasalahan di atas, sebaiknya kita melakukan penelitian dan kajian lebih lagi agar kedepannya impor buah di Indonesia bisa lebih terkontrol. Menyambung dari pembukaan tulisan ini, saya ingin mengajak para pembaca semua untuk mau lebih peduli lagi melihat fenomena ekonomi yang terjadi di sektor-sektor unik seperti perbuahan ini. Sebab bagaimanapun banyaknya masalah besar dalam perekonomian bangsa kita, masalah perbuahan nasional juga termasuk kedalamnya dan dapat memberi dampak dalam perekonomian Indonesia. Semoga tulisan ini boleh menjadi awal untuk mencetak langkah terkait kepedulian kita terhadap perbuahan nasional.

No comments:

Post a Comment