6.4.12

[Kajian Post] Dilema Perbankan: High Risk Low Return?


Frida Yanti Putri Nababan | Wakadiv Divisi Kajian Kanopi FEUI 2012 | Ilmu Ekonomi 2010


Selain isu kenaikan harga BBM dan isu impor beras yang belakangan ini marak dibicarakan di tengah masyarakat, ada satu isu lain yang menurut saya menarik untuk dibahas, yaitu tentang efektifkah fungsi intermediaris perbankan di tengah perekonomian Indonesia yang kini tengah tumbuh. Dunia secara optimis memandang Indonesia sebagai salah satu mesin penggerak ekonomi global di masa mendatang. Untuk mewujudkannya, diperlukan sektor riil yang handal dan didukung oleh sektor keuangan yang kuat dan efisien, dalam hal ini perbankan memegang posisi penting.


Salah satu fungsi bank adalah untuk menghimpun dana dari orang-orang yang surplus untuk kemudian didistribusikan kembali kepada orang-orang yang membutuhkan dana. Bank memiliki dua tingkat suku bunga, yaitu, tingkat suku bunga deposito dan tingkat suku bunga kredit. Suku bunga deposito adalah kewajiban bank untuk membayarkan sejumlah bunga sebagai insentif kepada penabung, sedangkan suku bunga kredit adalah pendapatan bank akibat telah meminjamkan uang kepada peminjam/investor sebagai kompensasi terhadap resiko gagal bayarnya(default risk). Suku bunga kredit akan selalu lebih besar daripada suku bunga deposit, selisih (spread) diantaranya adalah net interest margin (NIM) perbankan. Tentu saja sebagai perusahaan, perbankan akan mengusahakan untuk mendapatkan net interest margin yang tertinggi, artinya sebisa mungkin perbankan akan meningkatkan spread yang diperoleh. Namun fungsi perbankan sebagai agen perekonomian yang menyalurkan kredit membatasi perbankan untuk memperoleh spread setinggi-tingginya. Jika perbankan ingin meningkatkan spread, artinya perbankan bisa mengurangi tingkat suku bunga  deposito atau meningkatkan tingkat suku bunga kredit. Kembali lagi karena fungsinya, perbankan akan cenderung kesulitan untuk menurunkan tingkat suku bunga deposito karena action itu akan men-disinsentif masyarakat untuk menabung di perbankan, karena masyarakat akan cenderung mencari institusi keuangan lainnya-seperti pasar modal yang mulai diminati oleh masyarakat karena yield yang relative tinggi - yang bisa memberikan insentif lebih kepadanya untuk menabung dan ini akan berbahaya untuk perbankan. Lalu bagaimana dengan suku bunga kreditnya ? Apakah perbankan akan dengan mudah menaikkan suku bunga kreditnya ?

Menaikkan suku bunga kredit adalah keputusan yang juga sangat berat bagi perbankan karena kredit merupakan salah satu sumber pendanaan bank sekaligus sebagai alat stimulus perekonomian, yaitu stimulus sector riil melalui dana pinjamannya. Karena adanya cross-interest diantara  dua hal itu, Bank Indonesia menetapkan sebuah tingkat bunga acuan bagi penetapan suku bunga perbankan komersial, BI Rate. BI Rate telah turun sebesar 100 basis poin ( 1%) dalam waktu setahun (Februari 2011-Februari 2012). Hal ini menunjukkan sikap Bank Indonesia yang mendukung penguatan pondasi ekonomi dalam menghadapi krisis keuangan Eropa yang belum terlihat solusinya, artinya kita tidak boleh rely on export dan capital inflow yang bisa menyebabkan “ capital bonanzaz”  dan “sudden stop” phenomenon yang sangat berbahaya bagi Indonesia. Indonesia harus mampu fokus pada pemenuhan konsumsi dometik yang sesungguhnya sangat besar ,dengan berharap bank umum juga akan menurunkan tingkat suku bunga kredit dan memudahkan investor-investor mendapatkan dana untuk membuka usaha bahkan membuka lapangan kerja baru dan (diharapkan) akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Namun, mengapa suku bunga kredit perbankan masih tinggi sementara BI rate telah turun ? Mengapa perbankan tidak dengan mudah menurunkan saja tingkat suku bunga kredit sehingga banyak pengusaha besar dan kecil dapat mengembangkan usaha mereka atau bahkan membuka lapangan kerja baru sehingga dalam jangka panjang, masyarakat akan mempunyai income lebih untuk menabung dan akan meningkatkan dana pihak ketiga (DPK) perbankan sehingga dapat meminjamkan lagi dengan bunga lebih tinggi karena income masyarakat makin tinggi dan default risk nya semakin kecil?

Ternyata kenyataan tidak seindah itu. Perbankan masih mempertahankan suku bunga kredit diatas 10 persen meskipun penurunan BI Rate terus terjadi didasarkan atas banyak pertimbangan.

Pertama, masih tingginya default risk masyarakat Indonesia. Penyebab lending interest Indonesia masih lebih tinggi dari negara-negara tetangga adalah karena default risk nya masih sangat tinggi terkait dengan masih “kurang bersahabatnya” masyarakat Indonesia terhadap akses financial . Ditambah lagi dengan demand terhadap kredit yang masih lebih tinggi dari simpanan yang memaksa perbankan memiliki cadangan yang besar. 

Kedua, rasio BOPO (Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional) mencapai 87,22 persen (Indonesian Banking Statistics). Ini terbilang tinggi karena rasio BOPO di kawasan ASEAN berada antara 40-60 persen, artinya terjadi inefisiensi di perbankan Indonesia ,seperti bank harus melakukan ekspansi usaha, mulai investasi system teknologi informasi, re-engineering system, maupun ekspansi jaringan kantor. Maka dapat dimengerti jika perbankan masih membutuhkan waktu untuk menurunkan suku bunga kreditnya, jangan sampai high risk low return benar-benar terjadi.

Penulis percaya suku bunga kredit perbankan bisa turun secara signifikan. Selain menerapkan tranparansi SBDK (Suku Bunga Dasar Kredit) untuk mengurangi asymmetric information  di pasar dan dapat mengurangi spread perbankan, penulis melihat pentingnya Bank Indonesia dalam memberi insentif ke perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit dengan membantu meminimalisir default risk  yang berpotensi mengikis spread perbankan, misalnya dengan memberikan pelatihan manajemen demi efisiensi produksi perusahaan, terutama UMKM, yang di jangka panjang akan sangat berdampak baik bagi perekonomian.

1 comment:

  1. Anonymous7/4/12 00:51

    Perlu disoroti juga tingkat persaingan perbankan yg rendah. NIM bisa tinggi karena ga terjadi persaingan yg ketat dlm memberi pinjaman. Padahal, bank2 besar di indo hampir semua punya pemerintah, tapi justru gagal dlm fungsi "agent of development". Salah satu solusi ya izinkan semakin banyak bank asing yg besar2 masuk, biar persaingan semakin ketat. (Donny HPP)

    ReplyDelete