6.4.12

[Kajian Post] Cabut Bukan Naik

Rachmat Reksa Samudra | Staff Divisi Kajian Kanopi FEUI 2012 | Ilmu Ekonomi 2011


Tulisan ini bisa dibilang termasuk dalam lanjutan tulisan saya yang lalu mengenai konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas, namun saya ingin melihat ini dari sisi lain. Lebih tepatnya dari sisi bahasa politikakan kenaikan bahan bakar minyak bersubsidi itu sendiri.

Sering dikatakan dalam  media, baik elektronik maupun cetak, bahwa pemerintah itu akan menaikkan harga BBM bersubsidi, padahal menurut saya bukanlah harga BBM bersubsidi tersebut yang  naik, Melainkan subsidi dari BBM tersebut yang dikurangi atau di cabut. Sebenarnya, BBM tanpadi subsidi pun harganya akan konstan dalam level tertentu, atau mungkin sedikit berfluktuasi di level tersebut mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. Mari kita ambil contoh BBM jenis Pertamax. Pertamax merupakan BBM yang mempunyai oktan 93 dan tidak bersubsidi. Harga Pertamax mengikuti harga minyak dunia, di kisaran Rp8.000,00—Rp9.000,00, yang artinya harga pertamax berfluktuasi di kisaranRp1.000,00.


MengapaCabut?

Pemerintah pasti punya alasan mengapa subsidi BBM harus dicabut—atau dengan kata lain menaikkan harga BBM bersubsidi, yaitu premium. Tidak mungkin pemerintah hanya seenaknya saja mencabut tanpa alasan tertentu. Alasan yang pertama dan paling mendasari keputusan pencabutan subsidi adalah kenaikan harga minyak dunia. Asumsi RAPBN 2012 adalah harga minyak dunia berada di level USD 90. Namun, karena adanya ketegangan di Timur Tengah, yaitu Iran dengan Israel, menyebabkan Iran yang notabene Negara penghasil minyak yang mempunyai pengaruh dalam produksi minyak dunia, menurunkan angka ekspor minyaknya dari 500.000 barel/hari menjadi di kisaran 300.000-400.000 barel/hari yang menyebabkan kelangkaan minyak. Kelangkaan minyak itulah yang menyebabkan sekarang harga minyak dunia berada di kisaran  USD 123, melebihi ekspektasi pemerintah dalam RAPBN 2012 yang sekitar USD 90, sehingga APBN 2012 dengan tergopoh gopoh membiayai subsidi BBM.

Selain itu, ternyata, BBM bersubsidi banyak di nikmati oleh golongan orang-orang kaya, bukan orang-orang miskin. Jangan melihat dari jumlah KK yang menikmati BBM bersubsidi tersebut, namun mari kita lihat dari porsi pemakaiannya. Andai kata tipikal satu keluarga kaya yang tinggal di Jabodetabek mempunyai tiga mobil. Setiap hari ketiga mobil itu dipakai oleh masing-masing anggota keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak . Dengan asumsi setiap mobil mengisi full-tank dengan BBM bersubsidi dengan jumlah Rp150.000,00, lalu pengisian full-tank itu dilakukan seminggu dua kali, bias dikatakan dalam seminggu itu saja, si keluarga kaya menggunakan BBM bersubsidi sebesar Rp900.000,00—dengan kata lain dalam sebulan, si keluarga kaya menghabiskan Rp3.600.000,00 hanya untuk konsumsi BBM. Mari kita bandingkan dengan keluarga miskin di pedesaan yang mempunyai satu motor, yang biasanya motor itu motor semi besar untuk kegiatannya komuter ke kota terdekat. Dengan asumsi motor tersebut mempunyai kapasitas full-tank sebesar Rp50.000,00 sekali mengisi dan dalam seminggu, hanya terjadi sekali pengisian bensin. Dapat dikatakan dalam sebulan, si keluarga miskin hanya mengonsumsi BBM bersubsidi sebesar Rp200.000,00. Dengan perbandingan kasar yang saya lakukan, dapat dengan jelas terlihat bahwa penggunaan subsidi BBM lebih banyak digunakan oleh si kaya, bukan si miskin, yang menyebabkan penggunaan subsidi tersebut salah sasaran.

Ada hal lain yang baru saya tahu, bahwa sebenarnya adalah salah ketika subsidi itu di nikmati untuk penggunaan konsumsi. Seharusnya, subsidi itu digunakan untuk produksi dan investasi. Inilah mindset orang-orang  Indonesia yang salah sejak dari 1962, tahun di mana subsidi BBM pertama kali dilakukan.

Lalu?

Kembali kejudul tulisan ini, yaitu Cabut Bukan Naik, saya lebih setuju bahwa  media - media penyiar berita menggunakan kata pencabutan subsidi BBM, bukan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Daripada APBN 2012 harus tergopoh gopoh membiayai subsidi BBM yang semakin berat karena ketidakpastian harga minyak dunia, lebih baik subsidi tersebut di cabut dan dialihkan kebidang bidang  yang  lebih membutuhkan, seperti kesehatan, pendidikan, dan pengembangan infrastruktur, sehingga social welfare Indonesia secara keseluruhan dapat meningkat.
***

No comments:

Post a Comment