5.5.12

[Kajian Post] Pajak atas Persembahan, Perlukah?

Sebuah kajian ekonomi singkat mengenai persembahan 




Bagi para umat percaya yang taat, praktik pemberian uang untuk menopang kebutuhan sehari-hari rumah ibadah dan pelayan ibadah merupakan hal yang sangat lumrah. Hampir setiap agama yang beribadah dalam kongregasi/perkumpulan mengenal pemberian uang semacam itu, entah bernama zakat, perpuluhan, dan masih banyak nama lainnya. Walaupun berbeda agama dan berbeda ragam persembahan, ada satu elemen penting yang sama dalam setiap jenis persembahan tersebut; persembahan merupakan pendapatan bebas pajak bagi rumah ibadah dan pelayan ibadah.

Walaupun pada zaman dahulu banyak orang merasa lumrah terhadap status bebas pajak bagi uang persembahan, perubahan zaman telah membawa perubahan ideologi dan etika masyarakat, termasuk tentang masalah pajak bagi uang persembahan. Banyak orang mulai menyuarakan keberatan akan status istimewa yang disandang oleh rumah-rumah ibadah dalam soal perpajakan. Namun sebelum kita bergerak lebih lanjut untuk membahas perlu tidaknya pajak atas persembahan bagi rumah ibadah, kita perlu mengkaji lebih dahulu karakteristik yang dimiliki oleh uang persembahan.

Dalam kajian mengenai pajak atas persembahan, perlu diperhatikan bahwa satu-satunya aspek yang harus kita perhatikan dalam tulisan ini adalah aspek ekonomis dari persembahan. Penyelarasan aspek yang hendak dikaji menjadi sangat penting dalam tulisan ini semata-mata agar obyektifitas dari kajian ini tetap terjaga. Walaupun demikian, penulis akan turut memaparkan konsekuensi dari aspek sosial dan aspek religius terhadap pajak atas persembahan di akhir tulisan agar menjadikan kajian tentang persembahan ini menjadi lebih holistik dan lebih relevan dalam kehidupan sehari-hari.

Keuntungan Sosial Rumah Ibadah & Pajak Persembahan

Memberi uang bagi keperluan rumah ibadah serta keperluan pelayan ibadah merupakan sebuah anjuran, bahkan dalam beberapa agama merupakan kewajiban bagi umat beragama, dan biasanya tertulis secara eksplisit dalam kitab-kitab suci. Uang yang diberikan oleh umat biasanya digunakan dalam pemeliharaan fasilitas rumah ibadah dan menopang hidup pelayan rumah ibadah. Dalam kasus kongregasi besar yang memiliki skala ekonomi yang besar, seperti Gereja Katolik Roma, rumah-rumah ibadah beserta pelayan-pelayan/hamba-hamba Tuhan dapat melakukan pelayanan masyarakat melalui pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, dapur umum, panti asuhan, dan lain-lain, dengan menggunakan uang persembahan umat.

Kita dapat berasumsi bahwa pelayan rumah ibadah mencoba untuk memaksimumkan keuntungan sosial (mencoba untuk meminimumkan penerimaan pribadi serta memaksimumkan uang hasil persembahan jemaat untuk dikembalikan ke masyarakat melalui program-program sosial). Asumsi lain yang penting untuk diambil adalah bahwa rumah-rumah ibadah memiliki skala keekonomian yang cukup untuk melakukan beragam pelayanan sosial pada masyarakat. Berangkat dari asumsi ini, kita bisa menyimpulkan bahwa uang persembahan yang diberikan pada pihak rumah ibadah dan pelayan ibadah akan digunakan untuk memaksimumkan manfaat sosial (social benefit) secara lebih efisien dibandingkan dengan pemerintah, sebab dana yang terambil untuk biaya birokrasi rumah ibadah bisa menjadi jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya birokrasi pemerintahan.

Apabila memang seluruh asumsi yang kita buat adalah benar, kehadiran rumah ibadah dan pelayan ibadah memberi dampak positif bagi lingkungan sekitarnya. Kehadiran rumah ibadah akan memberikan dampak yang baik bagi masyarakat lokal, karena dengan penerimaan uang yang sama, manfaat sosial secara keseluruhan yang diberikan rumah ibadah dan program sosialnya akan jauh lebih besar dibandingkan yang diberikan pemerintah. Melihat bahwa rumah ibadah memberi keuntungan sosial yang positif, langkah yang seharusnya diambil pemerintah adalah memberi insentif agar mereka berjumlah semakin banyak. Tidaklah masuk akal bagi pemerintah untuk memajaki persembahan!

Hanya saja, asumsi-asumsi yang telah kita buat kurang (atau bahkan tidak) seringkali tidak bersesuaian dengan kenyataan. Pertama, pelayan rumah ibadah seringkali tidak memaksimalkan keuntungan sosial, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Beberapa oknum pelayan rumah ibadah memang sengaja menggunakan uang persembahan untuk kepentingan pribadi (yang memiliki manfaat sosial lebih rendah dibandingkan untuk kepentingan umum), namun tidak optimalnya penggunaan uang persembahan lebih banyak bersal dari kurangnya kemampuan pelayan rumah ibadah untuk menentukan alokasi optimal dana persembahan.

Kedua, skala dari rumah-rumah ibadah sangat bervariasi dan seringkali tidak berada pada skala keekonomian. Kebanyakan rumah ibadah, terutama rumah ibadah yang berdiri secara independen, seringkali memiliki ukuran yang terlalu kecil untuk dapat mengadakan kegiatan-kegiatan sosial yang berdampak signifikan bagi masyarakat lokal. Di sisi lain, beberapa kongregasi menjadi terlalu besar dan memiliki birokrasi yang gemuk, sehingga menjadikan kegiatan-kegiatan sosial yang mampu dijalankan menjadi tidak maksimal. Kedua masalah ukuran ini dapat menciptakan ekses berupa surplus anggaran rumah ibadah, yang merupakan suatu bentuk inefisiensi dalam alokasi anggaran rumah ibadah.

Mengingat status rumah ibadah sebagai suatu lembaga nirlaba, adanya surplus, terutama dalam jumlah besar terhadap penerimaan, merupakan indikasi dari ketiadaan itikad baik dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga nirlaba, dan perlu untuk diminimalisir. Adanya embel-embel religius dalam kasus ini memberikan beban tambahan bagi rumah ibadah untuk tidak menumpuk uang secara signifikan dan lebih berfokus pada pelayanan sosial masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang dapat mengontrol lembaga nirlaba, terutama rumah ibadah, dari penumpukan uang.

“Apabila memang seluruh asumsi yang kita buat adalah benar.......tidaklah masuk akal bagi pemerintah untuk memajaki persembahan!”

Pemajakan terhadap surplus anggaran rumah ibadah (dan dapat dilebarkan untuk semua kasus lembaga nirlaba) dapat menjadi salah satu alat pemerintah yang paling efektif untuk mengontrol rumah ibadah untuk tetap berfokus pada tujuan awalnya sebagai lembaga nirlaba yang bergerak di bidang keagamaan. Pajak dapat menjadi salah satu disinsentif bagi rumah ibadah untuk mengumpulkan uang persembahan tanpa disertai redistribusi dana kepada masyarakat yang membutuhkan. Bilapun masih terdapat penumpukan uang hasil persembahan, inefisiensi yang terjadi dari penumpukan ini dapat dikurangi dengan adanya redistribusi dana ke orang yang membutuhkan dengan bantuan pemerintah.

Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat banyak keengganan publik untuk memajaki rumah ibadah. Sebagai seorang umat yang percaya, penulis, seperti banyak umat beragama lainnya, menganggap bahwa uang yang diberikan kepada rumah ibadah adalah uang milik Tuhan. Bagi banyak umat percaya uang persembahan, yang dianggap dimiliki oleh Tuhan, tidaklah layak untuk diminta secara paksa oleh manusia, terutama lewat sistem pajak. Perspektif religius ini menjadikan pemajakan bagi rumah-rumah ibadah kurang dapat direalisasikan.

Dalam kapasitas penulis sebagai mahasiswa ekonomi, pemajakan atas persembahan (yang dihitung dari surplus anggaran rumah ibadah) jelas menjadi hal yang diperlukan untuk mengontrol integritas rumah ibadah sebagai lembaga nirlaba religius. Akan tetapi, perihal pemajakan rumah ibadah adalah sesuatu yang jauh lebih kompleks untuk dilihat dari kacamata ekonomi semata. Mengingat adanya sentimen religius dalam pemajakan rumah ibadah, kita dapat menyimpulkan bahwa pajak atas uang persembahan merupakan hal yang perlu, namun bukanlah sesuatu yang bijak untuk dilakukan.

No comments:

Post a Comment