5.5.12

[Kajian Post] Will Roses Always be Red and Violets Always Blue?

Oleh: Rachmat Reksa Samudra | Staff Divisi Kajian Kanopi FEUI 2012 | Ilmu Ekonomi 2011


Dalam tulisan saya kali ini, saya ingin mengajak teman-teman untuk berimajinasi dan keluar dari pakem yang sudah ter-trah dalam buku teks konvensional yang biasa kita baca sehari-hari. Teori-teori ekonomi yang selama ini kita pelajari dalam buku teks manapun di dunia adalah condong ke teori neoklasik.

Neoklasik merupakan teori ekonomi yang lahir pada akhir abad ke-19 yang dipelopori oleh beberapa ilmuwan ekonomi sekaligus matematika dan fisika, yaitu Léon Walras, Carl Menger, dan William Stanley Jevons. Esensi dari teori ekonomi neoklasik adalah teori ini berusaha menjabarkan proses pembentukan harga barang, penentuan cost & revenue suatu produksi (MC, MR, AC, AVC, dan AFC), penentuan distribusi pendapatan dengan menggunakan mekanisme supply dan demand yang berinteraksi dalam ekuilibrium. Teori neoklasik seringkali menggunakan pendekatan marginal dan maximize-profit oriented.

Alfred Marshall, salah satu bapak ekonomi neoklasik, sering menggunakan kata ceteris paribus dalam ceteris paribus dalam menyelesaikan suatu mekanisme ekonomi. Sampai sekarang, buku teks konvensional pun selalu mengasumsikan teori-teori yang tertulis dengan ceteris paribus.

Ceteris paribus merupakan bahasa latin yang berarti faktor-faktor lain dianggap tetap. Asumsi ini selalu digunakan oleh Alfred Marshall dalam menentukan partial equilibrium.

Partial Equilibrium adalah kondisi keseimbangan yang hanya memperhatikan suatu jenis pasar, dengan mengabaikan pengaruh pasar-pasar lainnya. Kondisi keseimbangan di pasar tersebut ditentukan oleh interaksi demand dan supply. 


Dalam interaksinya, demand dan supply dianggap tidak terpengaruh oleh faktor endogen (berupa rasionalitas) dan faktor eksogen (pengaruh harga, tren selera konsumen, dll) karena faktor-faktor tersebut dianggap tetap. Padahal, dalam dunia nyata, banyak sekali variabel yang memengaruhi interaksi kedua pihak tersebut. Asumsi ceteris paribus yang selama ini digunakan cenderung terlalu memudahkan fenomena yang terjadi dalam kondisi sebenarnya. Misalnya saja, buku teks sehari-hari selalu mengatakan bahwa demand curve digambarkan dari kiri atas ke kanan bawah, secara parsial. Demand curve merupakan turunan dari indifference curve dan budget line dari individu. 

Dalam aplikasinya, kurva distribusi pendapatan merupakan aggregrate demand curve. Namun, karena sifat kurva yang parsial dan ceteris paribus, sangat mustahil apabila kita dapat mengagregasi seluruh permintaan karena tiap individu mempunyai sifat dan pengetahuan yang berbeda-beda sehingga bentuk kurva demand yang ada, bisa saja tidak berbentuk monoton dari kiri atas ke kanan bawah. Sehingga, dalam kenyataannya, demand curve yang terbentuk adalah nonpartial curve. 



Hal ini juga dapat terjadi di sisi supply curve. Dalam kenyataannya, faktor endogen (berupa modal) dan eksogen (berupa kompetitor dan harga barang lain) tentu memengaruhi pembentukan supply curve yang terbentuk dari kiri bawah ke kanan atas. Namun, variabel-variabel krusial yang harusnya sangat berpengaruh dalam pembentukan supply curve, malah diabaikan secara gampangnya oleh hal ceteris paribus. 


Seperti yang diajarkan oleh buku teks konvensional, bahwa supply curve adalah turunan dari marginal cost curve—yang merupakan buah pemikiran dari ekonomi neoklasik. Dalam proses agregasinya pun, tidak bisa kita menganggap bahwa supply curve tersebut mempunyai slope yang konstan. Lagi-lagi, saya akan mengatakan bahwa bisa saja pembentukan supply curve yang terjadi adalah jenis nonpartial curve dalam dunia nyata.

Nonpartial curve pada dasarnya terbentuk karena variabel-variabel yang tadinya ceteris paribus, diubah menjadi berpengaruh terhadap pembentukan kurva pada kondisi ekuilibrium. Sehingga, apabila kita gabungkan demand dan supply curve di atas, akan terdapat kondisi ekuilibrium majemuk. Kondisi ini mencerminkan bahwa keseimbangan pasar antara supply dan demand tidak hanya dapat terjadi pada satu titik, namun juga dapat terjadi di beberapa titik dalam sekali berinteraksi. Karena, dalam pembentukan ekuilbrium majemuk ini, semua faktor yang berpengaruh tidak dianggap tetap, namun dinamis sesuai dengan kondisi sebenarnya di dunia nyata. 

Apabila kita melihat lagi ke awal halaman, terdapat pengertian ceteris paribus. Tidak selamanya ceteris paribus itu akan ‘bermanfaat’ bagi perkembangan ekonomi. Menurut penulis, ceteris paribus juga dapat menimbulkan bencana, karena bisa saja dalam perumusan suatu kebijakan ekonomi, para ekonom nantinya terlalu menggampangkan dalam pembuatan keputusan karena berbagai variabel yang bergerak dinamis yang seharusnya dianggap krusial terhadap keputusan kebijakan, malah dianggap tetap.

Selain itu, menurut saya, teori ekonomi neoklasik yang sering digunakan dalam buku teks konvensional harus di-update lagi karena teori-teori tersebut sudah berumur satu abad lebih. Menurut saya, teori ekonomi neoklasik sudah tidak terlalu relevan dengan kondisi zaman sekarang yang semakin dinamis dan mempunyai variabel penentu yang semakin banyak.

Berbeda dengan bidang ilmu lainnya, mungkin Adam Smith atau Alfred Marshall apabila mereka menggunakan mesin waktu ke abad ke-21, mereka masih dianggap bapak ekonomi karena terlalu lambatnya update ilmu ekonomi yang ada di dunia. Ilmuwan-ilmuwan fisika, kimia, ataupun biologi yang berasal dari satu abad yang lalu bisa saja sudah tidak dianggap lagi sebagai ilmuwan apabila mereka terbang menggunakan mesin waktu ke abad ke-21, karena masing-masing ilmu yang selalu update dengan teori-teori terbaru.

Ekonomi, secara umum, merupakan disiplin ilmu yang mempunyai banyak masalah yang harus dipecahkan, namun hanya memiliki sedikit model dan rumus untuk memecahkan masalah itu. Sehingga, dapat terjadi ke-bias-an dalam interpretasi masalah karena keterbatasan alat untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Dalam artikel ini, penulis juga ingin menyampaikan bahwa dibutuhkan suatu terobosan baru dalam model ekonomi agar semua variabel yang terkait dalam pembuatan keputusan itu bisa dianggap ada dan bisa masuk ke dalam model, agar prediksi-prediksi kebijakan ekonomi nantinya dapat dibuat seefektif mungkin dan semendekati mungkin terhadap aplikasinya di dunia nyata.

So, Will Roses Always be Red and Violets Always Blue? J

No comments:

Post a Comment