15.8.12

[Kajian Post] Liberalisasi Perbankan Berbahaya?

Oleh: Frida Yanti P. Nababan | Kadiv Kajian Kanopi 2012 | Ilmu Ekonomi 2010

Dengan keluarnya peraturan baru Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/8/PBI/2012 bertanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum, yang berisi :

a. Penetapan batas maksimum kepemilikan saham pada Bank berdasarkan kategori pemegang saham sebagai berikut:

1. 40% dari modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank.

2. 30% dari modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa badan hokum bukan lembaga keuangan.

3. 20% dari modal Bank, untuk kategori pemegang saham perorangan pada bank umum konvensional. Batas maksimum kepemilikan saham untuk kategori pemegang saham perorangan pada bank umum syariah adalah sebesar 25% dari modal Bank.

b. Namun, lembaga keuangan bank juga berhak atas saham lebih dari 40 persen dengan persetujuan Bank Indonesia, timbul beberapa kontroversi.

Banyak pihak mencurigai kebijakan ini termasuk liberalisasi perbankan yang berbahaya karena syarat kepemilikan saham lebih dari 40% di perbankan nasional sudah dimiliki oleh kebanyakan lembaga keuangan bank asing, yaitu bahwa bank harus dalam kondisi sehat dengan Tingkat Kesehatan (TKS) Minimal 2 atau yang setara, modal memenuhi minimum KPMM sesuai profil risiko, dan Modal Tier 1 minimal 6% dan mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawas bank tersebut . Peraturan ini dinilai menjadi tidak banyak berubah dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yang memperbolehkan kepemilikan asing di perbankan nasional hingga 99 persen.


Menurut mereka, dengan kondisi derajat keterbukaan sistem keuangan Indonesia yang cukup besar, Indonesia hanya memiliki rasio kredit terhadap PDB sekitar 29,62 persen tahun 2011 dan hanya sedikit lebih baik dari Laos dan Kamboja yang rasio kredit terhadap PDB nya 20,4 persen dan 27,6 persen dan jauh tertinggal dibandingkan Singapura 128,6 persen, Malaysia 117,6 persen, dan Thailand 92,97 persen (MAS, 2012).

Apa yang menarik dari hal ini? Ternyata dengan derajat keterbukaan sistem keuangan Indonesia yang cukup besar, yang artinya semakin tingginya kepemilikan asing di perbankan Indonesia (kurang lebih 55,32 persen aset perbankan nasional dikuasai asing hingga akhir 2011 (IRB, 2012)) tidak sama sekali meningkatkan kredit terutama ke sector-sektor yang produktif. Selain itu, karena adanya asymmetric liberalization, dimana derajat keterbukaan sistem perbankan di setiap negara berbeda-beda, kehadiran bank asing di Indonesia tidak dapat diimbangi dengan kehadiran bank Indonesia di luar negeri dan hal ini terkesan unfair. Akhirnya, banyak pihak yang menakutkan tujuan awal dari pembukaan kepemilikan saham yang sejauh ini masih didominasi dengan kepemilikan asing, yaitu untuk meningkatkan persaingan dan efisiensi perbankan tidak akan tercapai dan bahkan dapat menjadi sangat rapuh ketika global crisis seperti yang terjadi belakangan ini mengancam.

Namun banyak pihak yang tidak setuju dengan pandangan tersebut dan menyambut positif peraturan baru ini. Menurut mereka dengan meningkatnya kepemilikan asing atas perbankan Indonesia akan mempermudah transfer teknologi dan memaksa terjadinya efisiensi perbankan, dengan kata lain peraturan ini akan menjadi insentif bagi bank-bank yang sehat dan disinsentif bagi bank-bank yang tidak sehat.

Namun, semua sepakat bahwa Bank Indonesia harus sangat bijaksana dalam mengantisipasi dan mengontrol kesehatan bank yang kepemilikan saham nya didominasi oleh asing sehingga tidak rawan collapse ketika terjadinya krisis.

















No comments:

Post a Comment