18.8.12

[Kajian Post] New Seed of World Economy: Glocalization

Oleh: Rachmat Reksa Samudra | Staf Divisi Kajian Kanopi FEUI 2012 | Ilmu Ekonomi 2011

Kita tahu bahwa isu maupun kata ‘Globalisasi’ sudah mencuat sejak tahun 1980an. Mereka bilang, Globalisasi merupakan era di mana sekat-sekat yang menghalangi antarnegara itu hilang, era di mana semua orang dapat berinteraksi dengan mudah. Era di mana waktu dan benua bukan dianggap sebagai halangan bagi manusia untuk berinteraksi satu dengan lainnya. Termasuk di bidang ekonomi.

Globalisasi dalam bidang ekonomi biasanya mencakup beberapa hal, termasuk di dalamnya Free Trade dan Economy Liberalization. Para ekonom dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong merumuskan rencana perdagangan terbuka, yang ditandai dengan adanya penurunan bahkan sampai penghilangan tariff barriers, import quota, dan sejenisnya yang bisa menghambat ‘interaksi’ perdangangan antarnegara. Rancangan Trade Liberalization ini sudah dirumuskan pada tahun 2001 di Doha, Qatar. Agenda ini lalu terkenal dengan naman Doha Development Agenda (DDA). Banyak studi yang telah dilakukan untuk mengetahui efek dari adanya Free Trade atau Trade Liberalization. Studi yang dilakukan oleh University of Michigan membuktikan bahwa Global Welfare dapat meningkat sejumlah USD 574 Billion apabila barriers dalam bidang jasa, agrikultural, dan manufaktur diturunkan sebesar 33%. Sedangkan, studi yang dipimpin oleh Senior Economist World Bank, Kym Anderson, pada tahun 2008 menyebutkan bahwa Global Income akan meningkat sebesar USD 3000 Billion apabila trade barriers yang disebutkan di atas (dalam University of Michigan) dikurangi sebesar 33%, dan yang menakjubkan, USD 2500 Billion dari USD 3000 Billion akan diperoleh oleh Developing Countries.

Bukankah studi di atas merupakan hal yang sangat menggiurkan dari adanya Trade Liberalization?

Saya tidak akan memberikan jawaban. Biarkan anda yang membaca tulisan ini yang menjawab.

Dalam beberapa working paper mengenai Trade Liberalization yang telah saya baca, walaupun hanya sekilas, mengatakan bahwa adanya liberalisasi dalam perdangangan Internasional memang dapat membawa dampak yang positif, seperti meningkatnya competitiveness kualitas dan harga barang yang dijual. Trade Liberalization itu baik, begitupun adanya open economy atau economy liberalization. Bukan sesuatu yang harus ditentang.




Namun, paradigma dunia kali ini mulai berubah. Dunia dihantam oleh krisis ekonomi yang hebat pada tahun 2008. Amerika Serikat menjadi core permasalahannya. Pada tahun 2011, ekonomi dunia diuji lagi ketangguhannya oleh krisi ekonomi yang melanda European Union. Yunani, Spanyol, dan Italia menjadi dalang dibalik krisis ekonomi yang melanda Uni Eropa. Untungnya, perekonomian Asia dapat dengan gagah menangkis pengaruh krisis yang melanda daratan Eropa tersebut.

Dampak ekonomi bisa dibilang cukup signifikan terhadap negara-negara yang menerapkan Trade Liberalization tersebut. Bagi negara eksporter, apalagi ke daratan Eropa dan Amerika Utara, mereka kehilangan pasar. Industri dalam negeri menjadi lesu. Belum lagi apabila pasar dalam negeri ikut lesu terkena dampak akibat dari adanya krisis ekonomi, mereka (industri) mendapatkan double impact.

*

Akhir-akhir ini, mulai terdengar isu bernama “Go Glocal” atau saya lebih senang menyebutnya dengan Glokalisasi. Era di mana semuanya kembali lagi pada grass-root-nya. Era di mana semuanya dikembalikan kepada kearifan lokal. Mungkin, dalam isu perekonomian yang sedang nge-hype, banyak negara yang kembali menerapkan Protectionism. Protectionism adalah kondisi ekonomi suatu negara yang menerapkan perlindungan terhadap industri dan perdagangan dalam negeri dari serangan produk-produk luar negeri. Banyak cara yang dilakukan negara-negara proteksionis untuk melindungi dirinya dari serangan krisis ekonomi, seperti pengetatan import quota dan meningkatkan import tariff. Pemerintah berusaha memberdayakan industri dalam negeri yang nantinya akan dinikmati juga oleh konsumen dalam negeri. Sistem ini mengarah kepada closed economy dan autarchy.

Disadari atau tidak, Indonesia mulai menerapkan Protectionism yang dinahkodai oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Isu ini mulai mencuat ketika penulis Wall Street Journal, Kevin O’Rourke, mengangkat isu tentang perekonomian Indonesia “Hatta-nomics” yang sudah mulai mengarah ke Protectionism. Namun, O’Rourke mensinyalir bahwa kebijakan yang diambil Hatta Rajasa itu lebih berbau politik untuk menyukseskan Pemilu 2014.

Entahlah, apakah “Hatta-nomics” merupakan bentuk Glokalisasi Indonesia untuk menghadapi krisis ekonomi yang melanda dunia barat atau bukan. Atau memang hanya akal-akalan Menko Perekonomian kita untuk dapat maju sebagai Presiden atau Wakil Presiden di tahun 2014. Tapi, saya berharap, dengan apapun ideologi ekonomi yang dianut oleh Indonesia, baik Globalisasi ataupun Glokalisasi, seharusnya dapat terus memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia.

***

No comments:

Post a Comment