27.4.12

[Kajian Post] Beras dan Masalah Ketahanan Pangan Indonesia

Output Marjinal dan Mec-D I 


Latar Belakang

Indonesia adalah negara pemakan beras nomor empat terbesar di dunia. Konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 139 kg/kapita setiap tahunnya. Dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus tumbuh, kebutuhan akan beras akan terus meningkat setiap tahunnya. Di sisi lain, luas lahan pertanian tidak banyak bertambah sejak 1980, dan jumlah petani mengalami penurunan. Jika kedua hal ini berarti penurunan produksi beras nasional, maka ada potensi masalah ketahanan pangan yang dapat terjadi.

Swasembada beras hanya terjadi satu kali sepanjang sejarah bangsa Indonesia, yakni pada tahun 1986. Setelah itu untuk memenuhi kebutuhan beras nasional, Indonesia selalu melakukan impor beras. Berlawanan dengan pandangan umum, impor ini ternyata tidak dilakukan karena konsumsi beras melebihi produksi beras. Dapat dilihat di tabel di bawah, bahwa dalam rentang 2000-2004, produksi beras selalu melebihi konsumsi. Impor dilakukan untuk setidaknya dua hal: menjaga stok cadangan jikalau terjadi sesuatu; dan menurunkan harga beras, karena harga beras impor hampir dua kali lebih murah dari harga beras lokal. 


Selain itu, masalah yang menjadi sangat serius juga adalah infrastruktur dalam distribusi pangan. Ada dua hal yang patut digarisbawahi mengenai hal ini. Yang pertama, infrastruktur perhubungan yang kurang memadai meningkatkan biaya transportasi dan membuat harga beras di daerah-daerah terpencil menjadi mahal. Kemudian, infrastruktur pendukung seperti gudang beras yang kurang memadai juga berakibat banyaknya beras/gabah yang rusak.

Hal yang patut dilihat adalah bahwa produktifitas lahan di Indonesia tidak buruk, mencapai 5 ton/hektar pada 2009. Angka ini bahkan lebih baik dari Thailand (2.87 ton/hektar), India (3.19 ton/hektar), dan hanya sedikit di bawah Vietnam (5.23 ton/hektar). Di sisi lain, ternyata jumlah areal lahan kita lah yang jauh di bawah negara-negara lain (lihat tabel di bawah). Dari sini jelas bahwa untuk meningkatkan produksi pangan kita, lebih urgent untuk meningkatkan jumlah lahan daripada upaya-upaya peningkatan produktifitas (bibit unggul, irigasi, dll) walau itu juga baik. 


Beberapa Kemungkinan Solusi

Ada beberapa pandangan mengenai solusi ketahanan pangan Indonesia, yakni melakukan upaya diversifikasi pangan, menahan laju konversi lahan pertanian menjadi lahan industri, intensifikasi lahan pertanian di lahan-lahan kosong di luar Jawa, dan liberalisasi perdagangan beras. Mari kita telaah satu per satu.
Diversifikasi pangan

Bahwa mayoritas penduduk Indonesia saat ini mengkonsumsi beras (nasi) sebagai makanan pokok mereka, tidak lepas dari revolusi hijau pemerintahan Orde Baru. Sebelumnya (dan tersisa sedikit saat ini) penduduk di banyak daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera mengkonsumsi makanan pokok yang lain, seperti jagung, singkong, dan sagu. Bahwa beras bukanlah konsumsi natural sebagian penduduk ini, banyak yang menganggap konversi kembali ke makanan pokok lainnya dapat dilakukan.

Dengan demikian, tentunya konversi beras dapat ditekan. Tapi tentunya ini bukan tanpa biaya. Masyarakat yang sudah terbiasa makan beras (dan bahkan sudah menganggap beras sebagai makanan pokok yang paling supreme) akan butuh waktu (dan kampanye besar-besaran) untuk dapat mengganti kebiasaan tersebut. Belum lagi, penyediaan lahan dan litbang yang diperlukan untuk varietas benih masing-masing makanan pokok.

Penahanan Konversi Lahan Padi

Ada satu paradoks yang pelik terkait lahan padi di Indonesia. Daerah yang paling subur dan cocok untuk bertanam padi adalah di Jawa, terutama di Pantura. Tetapi, kegunaan paling efisien dari lahan tersebut bukanlah untuk bertanam padi, karena lebih menguntungkan jika diubah menjadi kawasan industri atau pemukiman. Dan lagi, semakin banyak kawasan yang berubah jadi kawasan industri, semakin menguntungkan membangun kawasan industri lainnya di Pantura (efek aglomerasi).

Untuk itu, banyak pihak juga yang merasa adalah penting untuk menahan laju konversi lahan padi. Tetapi untuk itu butuh suatu langkah yang jangka panjang, seperti membangun kawasan-kawasan industri terpadu di luar Jawa, melakukan usaha-usaha pemerataan lainnya. Walau begitu, tampaknya opsi ini agak sulit untuk dilaksanakan dengan alami tanpa adanya pemaksaan dari pemerintah untuk mencegah konversi lahan.

Liberalisasi Perdagangan Pangan

Ketahanan pangan tidak semata-mata berarti harus menghasilkan sendiri makanan yang dikonsumsi suatu negara. Ketahanan pangan dapat diartikan juga sebagai kepastian adanya bahan pangan yang dapat dikonsumsi warga negara, dan dengan harga yang terjangkau. Dengan demikian, liberalisasi perdagangan pangan dapat mendukung terciptanya ketahanan pangan tidak hanya di negara sendiri, melainkan di seluruh dunia. Ini karena nantinya produksi pangan akan terjadi di tempat-tempat yang paling efisien memproduksi pangan, dan negara-negara (daerah-daerah) lain dapat fokus ke produksi hal-hal lain yang menjadi comparative advantage mereka.

Jika dapat diwujudkan, tentu opsi ini sangat baik. Tetapi tentu muncul kekhawatiran dari banyak pihak, karena jika suatu saat perjanjian dagang ini ambruk, banyak orang bisa kehilangan akses ke makanan. Masalah ini dapat lalu menyangkut urusan kedaulatan negara. Jika ketakutan ini dapat dihilangkan, tentu inilah opsi yang paling baik.

Penciptaan Integrated Food Estate di Daerah

Belakangan muncul wacana investasi di lahan besar di Papua, tepatnya di Merauke, dengan nama Meruke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Lahan di Papua yang besar bisa dijadikan sentra pangan Indonesia, dan akan didukung dengan infrastruktur dan kapital yang memadai. Ini bisa jadi solusi ketahanan pangan Indonesia. Tentu dengan catatan pemerintah dapat menciptakan iklim investasi yang baik, untuk menarik investasi besar-besaran yang diperlukan.

No comments:

Post a Comment