7.5.12

[Kajian Post] Fokus Kepada yang Berpotensi Saja !

Oleh: Frida Yanti Putri Nababan | Wakadiv Kajian Kanopi FEUI 2012 | Ilmu Ekonomi 2010


Tanpa disengaja penulis membaca headline sebuah surat kabar yang menulis “2014, Surplus Beras: Petani Diminta Tak Alihkan Lahan Padi ke Sawit”. Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menyampaikan kekuatirannya atas maraknya terjadi pengalihfungsian sawah menjadi lahan-lahan non pertanian, seperti perkebunan sawit dan karet. Wamentan sangat menghimbau masyarakat untuk tetap memelihara sawah dan tidak mengalihfungsikannya menjadi lahan lain karena biaya untuk mencetak sawah itu sangat mahal dan banyak menggunakan APBN, jadi patut dipelihara dan diusahakan untuk memberikan value added kembali untuk APBN. 

Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengoptimalkan produktivitas beras, termasuk penggalakan penyuluhan, pemberian subsidi, dan bahkan telah membuat Undang-Undang No 41/2009, tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan yang secara tegas melarang konversi lahan pertanian dengan menghukum pihak-pihak yang mengalihfungsikan lahan pertaniannya menjadi lahan non pertanian dengan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 3 Milyar. Namun upaya-upaya tersebut tampaknya masih kurang berhasil.

Penulis melihat fenomena pengalihfungsian lahan ini sebagai sesuatu yang natural. Masyarakat juga pasti telah secara rasional memutuskan untuk akhirnya mengalihfungsikan lahan pertanian mereka menjadi lahan perkebunan sawit. Pertimbangan pertama, dengan produktivitas tanaman padi yang hanya mencapai 3.74 ton/ha (BPS 2007) dan harga beras yang fluktuatif namun membutuhkan biaya yang tinggi untuk mengolah lahan pertanian tersebut, seperti harga pupuk dan biaya perawatan hama yang tinggi, wajar masyarakat memilih untuk mengkonversi lahan pertaniannya ke perkebunan kelapa sawit yang produktivitasnya berkisar 24 ton/ Ha (Yan Fauzi, 2005) biaya perawatan yang rendah dan nilai jual yang tinggi. Pertimbangan kedua, untuk beberapa daerah, pertanian itu high risk- low return. Beberapa daerah memiliki resiko gagal panen yang tinggi karena hama wereng, hama tikus, penyakit tungro , dan keadaan geografis yang sangat tidak mendukung pertanian namun dengan nilai jual beras yang juga relative tidak terlalu tinggi .

Bukan berarti penulis sepenuhnya setuju jika lahan pertanian dialihkan untuk menjadi lahan non pertanian, seperti perkebunan kelapa sawit. Penulis setuju bahwa masyarakat perlu mengoptimalisasikan lahan-lahan pertanian yang ada. Namun banyak daerah yang sebenarnya memang lebih efisien untuk mengoptimalkan produktifitas lahan-lahan non pertanian, seperti kelapa sawit dan karet. Lalu mengapa memaksakan diri melarang masyarakat mengkonversi lahan pertanian ke lahan non pertanian? Bukankah cost untuk menginsentif daerah-daerah yang memang tidak efisien dalam pertanian akan jauh lebih besar daripada benefit yang dicapai setelah daerah-daerah tersebut akhirnya terpaksa bertani?

Penulis melihat upaya penyuluhan pertanian, subsidi petani, penetapan undang-undang pelarangan konversi lahan dan upaya-upaya lainnya masih kurang tepat untuk mendorong produktivitas pertanian, khususnya beras. Dengan pertimbangan sebelumnya, bahwa tidak semua daerah efisien dalam mengembangkan pertanian, bukankah sebaiknya pemerintah fokus kepada daerah-daerah yang memang memiliki iklim dan kondisi geografis yang mendukung utuk mengembangkan pertanian dan membiarkan daerah-daerah yang memang efisien dalam produksi produk-produk non pertanian berkembang? Mungkin insentif-insentif itu akan lebih tepat diberikan kepada daerah-daerah seperti Jawa, sebagian Sumatera dan daerah lainnya yang sebenarnya berpotensi dalam mengembangkan pertaniannya. Dimulai dengan membantu petani untuk mengurangi cost mengolah lahan pertanian, yaitu mensubsidi pupuk dan pestisida. Maka dengan sendirinya para petani yang hidup di daerah-daerah pertanian juga akan melihat prospek yang baik jika dia bertani. Dengan harga pupuk dan pestisida yang lebih murah, potensi untuk menghasilkan beras berkualitas rendah juga akan berkurang sehingga daya jualnya meningkat. Tentu saja dengan fokus pada daerah-daerah pertanian, memberikan subsidi, melakukan penyuluhan bertani, dan mungkin membuat peraturan daerah atau peraturan mengikat lainnya yang mensyaratkan pemilik lahan-lahan pertanian yang ingin mengkonversi lahan-lahan pertanian mereka menjadi non lahan pertanian di daerah-daerah pertanian harus mencarikan sawah lainnya sebagai untuk ditanami, akan lebih efektif untuk meningkatkan produktivitas beras. Challenges nya adalah bagaimana mengurangi cost mengolah lahan pertanian sehingga bertani menjadi prospektif didaerah –daerah yang memang efisien dalam bertani. Karena manusia secara natural akan bergerak menuju hal-hal yang prospektif.

No comments:

Post a Comment