14.10.12

[Kajian Post] Kredit Mikro dan Neoliberalisme


Oleh: Dwinia Emil | Trainee Divisi Kajian Kanopi 2012 | Ilmu Ekonomi 2012


Keuangan mikro mengacu pada penyediaan keuangan bagi rumah tangga yang berpendapatan rendah, serta tidak memiliki akses ke lembaga atau bank komersial. Oleh karena itu, aplikasi berupa skema dibukanya akses masyarakat berpendapatan minim tersebut terhadap kredit pembiayaan pun di jalankan (micro financial/ microcredit). Upaya tersebut dilakukan oleh seorang profesor ekonomi di Bangladesh, Muhammad Yunus lebih dari satu dekade lalu. Melalui Grameen Project, Yunus mengupayakan bantuan pinjaman langsung, sebuah langkah intermediasi keuangan, yang ditujukan kepada masyarakat target microcredit tersebut. Hasilnya luar biasa. Menggunakan pendekatan the geometric mean di ilmu statistika yang telah saya pelajari, dapat dihitung persentase perubahan rata-rata dari affected targets dalam Grameen Project:

Year
Affected Target Clients
1997
7.6 million
2004
92 million


Maka menggunakan perhitungan=   -1 = 0.428 x 100% = 42.8%, terlihat bahwa upaya “bantuan” tersebut telah tersebar luas dalam kurun waktu yang relatif singkat, yakni tujuh tahun dengan kenaikan klien sebesar 42.8%. Artinya, bentuk intermediasi keuangan semacam Grameen Project dapat dengan mudahnya diterima oleh masyarakat di Bangladesh. Skema microcredit terbukti berhasil menyusup dan beroperasi di negara berkembang tersebut dan berkontribusi dalam menghasilkan pertumbuhan makro yang positif dan yang menarik, terkontrol.1

            Memaknai “bantuan” Muhammad Yunus, bukan hanya sekedar membagikan setumpuk uang pinjaman dari saku pribadinya kepada segelintir pekerja di kota Jobra.2 Namun sejatinya merupakan upaya empowerment, sebuah upaya pembekalan masyarakat yang tertinggal berupa kemampuan tertentu yang di harapkan mampu meningkatkan derajat hidup dan kapasitas mereka sebagai partisipan pasar. Umumnya, ditujukan terhadap mereka yang selama ini hanya menjadi “penonton pasar”. Selayaknya Yunus berharap klien Grameen Project sukses menjadi objek dari upaya-upaya intermediasi keuangan dan intermediasi sosial, sebagaimana dijelaskan oleh Joanna Ledgerwood mengenai keuangan mikro sebagai “layanan intermediasi sosial seperti pembentukan kelompok, pembangunan kepercayaan diri, serta pelatihan melek keuangan dan kemampuan manajemen di antara anggota-anggota kelompok” (Ledgerwood, 1999). Demikian keuangan mikro dan skill-adding aspects-nya memberikan sumbangsih terpenting bagi empowerment masyarakat berpenghasilan rendah.

Siapa saja target klien keuangan mikro? Yang menjadi nasabah/anggota/klien umumnya segmen masyarakat berpenghasilan minim seperti pedagang kaki lima, petani kecil, pengrajin, hingga penyedia jasa (transportasi becak atau penjahit). Nasabah lainnya mencakup segmen usaha kecil menengah yang membutuhkan dana usaha dalam upaya awal memasuki ekonomi pasar. Merekalah para aktor pendatang yang “miskin”. Sri-Edi Swasono, dalam artikel Kompas (28/07/12) yang berjudul “Kemiskinan dan Pengangguran” mempertanyakan siapa yang sebetulnya tergolong miskin? Ketika Indonesia menetapkan seseorang berada di bawah garis kemiskinan bila pendapatan per kapita di bawah Rp 243.729/bulan, lantas apabila seseorang berpendapatan 250.000/bulan maka ia dikategorikan “tidak miskin”. Untuk tidak dikategorikan sebagai golongan miskin, ada dampak negatif yang dirasakan segmen masyarakat berpenghasilan rendah tersebut. Mereka umumnya memiliki sumber pendapatan tetap, namun “kalah miskin” untuk diperhatikan oleh pemangku kekuasaan. Terkait dengan hal tersebut, microfinancial hadir dan memberdayakan kelas tersebut seperti yang telah dilakukan banyak bank-bank nasional saat ini.

Nantinya saat memasuki ekonomi pasar, ada dua dimensi bertentangan yang berlaku: self-interest dan pasar bebas. Paham neo-liberalisme banyak menjelaskan mengenai keduanya. Dalam dimensi self-interest, neo-liberal berargumen “that it is through the operations of the market that the freely acting individual will be best able to pursue their self-interest” dan “the expression of individual self-interest through the market leads to the most desirable outcomes in which social well-being is necessarily advanced by the pursuit of an individual’s self interest” (Friedman, 1982). Berbekal microcredit empowerment, segmen kelas “kalah miskin” turut bergairah, atau mau tak mau ikut dalam pergerakan pasar bebas. Di lain sisi, kita memahami pergolakan pasar yang mampu memiskinkan seketika.

Celakanya, memang pasar bebas saat ini mendominasi praktik pembangunan. Dalam bukunya “Tenggelam dalam Neoliberalisme”, Bagus Aryo membenarkan telah terjadinya pergeseran yang signifikan dalam praktik pembangunan, dari pendekatan yang diarahkan oleh negara kepada pendekatan yang diarahkan oleh pasar (Aryo, 2005). Kutipan pernyataan Friedman betul-betul menggambarkan semangat pasar bebas yang membangkitkan excitement; namun para aktor pendatang tidak boleh lengah. Persaingan pasar bebas adalah ketidakpastian; sebaiknya mereka berhati-hati dan waspada. Akan berpegang pada siapakah mereka—pengrajin, penjahit, penjaja kaki lima—jikalau sepenuhnya pasar terdiferensiasi menjadi pasar persaingan bebas?

Jika memang betul tren yang terjadi mengarah ke neoliberalisme—sebuah sistem ekonomi dimana hampir semua alokasi sumber daya yang terbatas ditentukan oleh interaksi antara penawaran dan permintaan di pasar bebas, sebagian besarnya tidak dihambat oleh campur tangan pemerintah—maka upaya microfinancial perlu terus dikembangkan dan dipertahankan. Hal ini dikarenakan sejalan dengan pergeseran kekuatan ekonomi dari negara ke pasar, harus ada “displacement from formal to informal techniques of government and the appearance of new actors on the scene of governments” (Lemke, 2000). Hal inilah yang akan menjadi tantangan utama di masa mendatang.

No comments:

Post a Comment