27.11.12

[Kajian Post] Delusionary Equation

Rachmat Reksa Samudra | Staff Divisi Kajian Kanopi FEUI 2012 | IE 2011



Dalam mata kuliah pengantar teori mikro maupun mata kuliah lanjutannya seperti mikroekonomi 1 dan mikroekonomi 2, kita pasti akrab dengan isitilah utilitas. Utilitas merupakan ukuran kepuasan dari seseorang dalam mengonsumsi suatu barang. Biasanya tingkat utilitas dihitung menggunakan perangkat indifference curve dan budget line. Indifference curve merupakan kurva yang menggambarkan tingkat kepuasan seseorang ketika dia mengonsumsi dua barang (yang bisa bersifat normal, substitution, atau complementary goods) dan budget line merupakan batasan kemampuan sesorang (constraint for consumer’s ability to pay) tersebut untuk memenuhi kepuasannya dalam mengonsumsi barang yang dia inginkan. Dalam ekonomi, kita diajarkan bahwa seseorang menikmati memperoleh utilitas maksimalnya ketika indifference curve bersinggungan dengan budget line. Apabila di-matematika-kan, utilitas seseorang maksimal seseorang apabila mencapai syarat (MUx/MUy = Px/Py), yaitu perbandingan utilitas marjinal barang x dan y sama dengan perbandingan harga barang x dan y. Selama itu, ekonom percaya bahwa utilitas manusia mencapai maksimal, dan yang paling penting (absurd) lagi, ekonom percaya bahwa kepuasan manusia dalam mengonsumsi barang bisa digambarkan melalui mathematical and graphical equation.

Entah mengapa, setiap belajar utilitas dalam mikroekonomi, nurani saya selalu terusik dan merasa tidak nyaman. Kita diajari bagaimana seseorang memaksimalkan utilitasnya dengan hitung-hitungan matematika ekonomi. Saya merasa bahwa utilitas yang di-angka-kan hanyalah bualan belaka ekonom yang berusaha meng-angka-kan semua kejadian ekonomi. Saya berpendapat bahwa utilitas selamanya tidak akan bisa diukur dengan cara apapun, apalagi dalam hitungan matematika yang statis. Utilitas seharusnya berada di ranah ekonomi kualitatif dan seharusnya tidak valid untuk masuk ke ranah ekonomi kuantitatif.

Utilitas manusia bersifat dinamis, berubah terus-menerus dari waktu ke waktu, dan tidak ada matematika yang bisa memecahkan sesuatu yang dinamis, yang bahkan bisa berubah setiap detik. Ditambah lagi, manusia tidak akan pernah terpuaskan dalam mengonsumsi barang-barang, yang berarti manusia memang mempunyai nature mempunyai utilitas yang tidak terbatas. Bagaimana mungkin ekonom menyederhanakan nature manusia dalam utilitas hanya dalam berbentuk grafik dan matematika ekonomi yang bisa dibilang sederhana untuk mencakup hal yang terjadi sebegitu rumitnya. Terkadang para ekonom itu terlalu menyederhanakan apa-apa yang terjadi dengan senjata pamungkasnya berupa “asumsi”. Apalagi, menurut saya, utilitas sudah masuk dalam human behavior yang (mungkin) hanya bisa diteliti oleh neuroscientist.

*

Saya teringat kembali dengan diskusi mengenai utilitas dengan teman saya yang juga staff kajian, yaitu Alvin dan Rachel. Apabila kita telisik lagi, manusia mempunyai utilitas yang tak terbatas dalam pemenuhan keinginannya. Utilitas manusia, apabila digambar dalam bentuk grafik 3D, bentuknya akan menyerupai gunung yang mempunyai garis kontur. Garis kontur tersebutlah yang menjadi indifference curve manusia. Apabila manusia mempunyai utilitas yang tak terbatas—tidak pernah puas—berarti dalam grafik, kita tidak akan pernah bisa melihat “puncak” dari “gunung” utilitas tersebut. Manusia dalam nature-nya selalu berusaha untuk memperoleh yang lebih dari hasil yang sekarang ia dapatkan. Namun, hal ini mungkin bisa ditahan. Mungkin, ada sebabnya agama turun ke muka bumi ini, yaitu untuk mengajarkan manusia cara bersyukur. Mungkin dengan bersyukurlah, kita dapat menemukan arti utilitas maksimal yang sesungguhnya. Dan, berdasarkan diskusi kami, istilah utilitas mungkin kurang valid digunakan, mungkin “satisfaction” dapat menggambarkan keseluruhan kepuasan manusia yang didapat dari rasa bersyukur kepada-Nya.

***

No comments:

Post a Comment