11.3.10

Fokal Pertama Divisi Kajian Kanopi FEUI


Forum Kajian Antar Lembaga atau disingkat Fokal yang pertama telah diadakan pada hari Jumat minggu lalu, tanggal 5 Maret 2010, bertempat di ruang B.104, Gedung B, Kampus FEUI. Fokal ini dimulai pada pukul 17.15 WIB. Adapun yang menjadi pembicara pada acara kajian ini adalah Bapak Mohammad Pasha.


Fokal ini diikuti oleh berbagai lembaga kajian dari berbagai fakultas di lingkungan kampus Universitas Indonesia, yaitu Kanopi FEUI, Badan Otonom Economica (BOE), BEM UI, Astina, LK2, Fordisnam, dan Defendier. Tema pada Fokal pertama ini adalah mengenai Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA). Peserta Fokal berdiskusi dengan sangat antusias. Namun, karena keterbatasan waktu, Fokal dilanjutkan di Sekretariat BOE.

Fokal (Forum Kajian Antar Lembaga) yang dilaksanakan untuk pertama kalinya, pada tanggal 5 Maret 2010, mengangkat topik yang sedang hangatnya dibicarakan masyarakat Indonesia, yaitu ACFTA (Asean China Free Trade Area).

Latar belakang Cina bergabung ke dalam ACFTA adalah karena ketidakmampuan Cina dalam memenuhi kebutuhan negaranya, mengingat populasi penduduknya yang besar, sehingga Cina membutuhkan supply dari pasar yang lebih luas dalam rangka mengatasi masalah tersebut.

Proses masuknya Cina sebagai anggota dari ACFTA sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1996, yang ditandai dengan PRC yang secara resmi menjadi dialogue partner ASEAN. Kurang lebih empat belas tahun setelahnya, yaitu tahun 2010, implementasi ACFTA pun resmi dimulai di semua negara anggotanya.

Pelaksanaan ACFTA di Indonesia sendiri dimulai pada Januari 2010, walaupun impor dari Cina baru menyerbu pasar Indonesia beberapa bulan setelahnya. Ketakutan atas serbuan komoditi Cina inilah yang menyebabkan ramainya pro kontra ACFTA. Saat ini, pelaksanaan ACFTA masih di tingkat Normal Track I dimana ini berarti tariff masih dalam upaya penurunan sampai dengan nol persen.

Diantara golongan yang menolak implementasi ACFTA, sebagian besar berasal dari golongan produsen domestik. Mereka takut apabila produk mereka kalah oleh serbuan China karena salah satu alasan terkuat mereka adalah cost of production yang tidak bisa bersaing dengan China, yang mana dampaknya adalah produk mereka memiliki harga yang lebih tinggi. Apabila harga tidak mampu bersaing maka bukan tidak mungkin kemungkinan terburuk, yaitu industri mereka gulung tikar, akan terjadi. Jadi, permasalahan atas implementasi ACFTA lebih menekankan kepada kurangnya daya kompetitif produk Indonesia.

Tingginya cost of production Indonesia dapat dilihat dari beberapa sisi penyebab. Pertama adalah dari sisi birokrasi Indonesia yang cenderung menyusahkan kalangan produsen. Telah menjadi rahasia umum bahwa di Indonesia marak terjadi penarikan uang liar, mulai dari skala kecil sampai ke skala besar dan rupanya hal inilah yang berkontribusi pada tingginya cost of production akibat jumlahnya yang cukup signifikan.

Kedua adalah masih kurangnya efisiensi produksi industri-industri di Indonesia. Untuk menekan cost of production, umumnya industri melakukan penekanan di sisi upah pekerja, entah melalui penurunan upah ataupun dengan memecat pekerja. Padahal sebenarnya, industri Indonesia membutuhkan penerapan teknologi serta peningkatan human capital. Dengan digunakannya teknologi serta dukungan dari human capital, cost of production dapat menjadi lebih rendah.

Selanjutnya, Indonesia membutuhkan spesialisasi industri. Apabila dinilai bahwa suatu industri dapat menjadi andalan ekspor negara ini, seharusnya industri itulah yang dikembangkan. Sedangkan, yang terjadi di negara ini adalah belum adanya sistem spesialisasi industri sehingga arah pengembangan industri Indonesia cenderung tidak fokus. Semua menuntut dikembangkan tetapi yang terjadi hanyalah ketidakefisienan.

Indonesia saat ini dituntut harus bisa meningkatkan jumlah ekspor, khususnya bagi Cina. Hal ini dapat dilakukan dengan product differentiation, mengingat peluang yang besar diterima di Cina akibat populasi Cina dengan Indonesia yang memiliki perbandingan mendekati 5:1.

Dari penjelasan di atas, jelas sudah bahwa implementasi ACFTA bukan merupakan masalah besar bagi Indonesia. Adanya ACFTA ini justru membawa benefit memancing timbulnya semangat kompetitif industri-industri Indonesia.

Akan tetapi, bukan berarti dengan adanya free trade, pemerintah hanya tinggal diam, sudah menjadi tugas pemerintah untuk melindungi rakyatnya. Dalam ACFTA, disebutkan terdapat sekitar 303 produk, berupa makanan, minuman, elektronik dan lain-lain, yang akibat penurunan tariff dapat mematikan industri dalam negeri sehingga dirasa pemerintah Indonesia harus melakukan renegosiasi dalam rangka melindungi industri dalam negeri.

Upaya renegosiasi bukan merupakan masalah mudah mengingat ACFTA bukan hanya perjanjian bilateral Indonesia-Cina, melainkan juga negara-negara ASEAN. Disamping itu, Indonesia harus melihat bargaining position negaranya terlebih dahulu untuk memprediksi hasil yang akan didapat, sehingga akan lebih baik apabila industri-industri Indonesia mempersiapkan diri melalui peningkatan daya kompetitif mereka daripada hanya mengharap sesuatu yang belum pasti.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa implementasi ACFTA bukanlah sesuatu yang harus ditanggapi dengan ketakutan berlebih. Indonesia harus mampu melihat sisi positif yang akan diperoleh sehingga Indonesia turut memperoleh benefit atas kehadiran ACFTA.

(Dharmesti Wulan dan Divisi Kajian Kanopi FEUI)

4 comments:

  1. Anonymous11/3/10 19:15

    Fokal itu bukannya Forum Kajian Antar Lemabaga ya?

    ReplyDelete
  2. iya betul,
    Fokal = Forum Kajian Antar Lembaga

    kalau ada kajian di luar, anak kajian KANOPI nyebutnya kajian eksternal.. mungkin salah sebut aja, hehe..

    ReplyDelete
  3. maaf atas kesalahannya, sudah kami perbaiki, terima kasih

    PIN Kanopi

    ReplyDelete
  4. Kajian...kita tunggu outputnya yah..biar liputannya bisa kebih panjang lagi nihhh...ahahaha

    ReplyDelete